Aroma dugaan gratifikasi dalam pengelolaan dana pokok pikiran (Pokir) DPRD NTB tahun anggaran 2025 mulai terkuak. Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda NTB resmi membentuk tim khusus (Timsus) untuk menyelidiki kasus tersebut. Sedikitnya 10 pejabat Pemerintah Provinsi NTB telah diperiksa, sementara puluhan dokumen penting kini tengah ditelusuri penyidik.
SUMBAWAPOST.com, Mataram- Polda Nusa Tenggara Barat (NTB) tengah mendalami dugaan gratifikasi dan penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan dana pokok pikiran (Pokir) DPRD NTB tahun anggaran 2025. Untuk mempercepat proses penyelidikan, kepolisian membentuk tim khusus (Timsus).
“Timsus bertugas mendalami setiap bukti dan memintai keterangan dari para pihak,” kata Dirreskrimsus Polda NTB, Kombes Pol Fx Endriadi, kepada wartawan, dalam keterangan yang diterima media ini. Senin (13/10/2025).
Endriadi menyebut, pihaknya sudah mengantongi sejumlah dokumen penting terkait kasus tersebut. “Ada 12 dokumen dan surat yang sedang kami teliti,” ujarnya.
Selain menelusuri dokumen, penyidik juga telah memeriksa sejumlah saksi. Hingga kini, tercatat ada 10 orang yang sudah dimintai keterangan. “Pemeriksaannya masih sebatas klarifikasi,” tambahnya.
Meski begitu, Endriadi belum mau mengungkap siapa saja pejabat yang telah diperiksa. “Yang jelas, ada beberapa pejabat Pemprov NTB,” katanya singkat.
Kasus dugaan gratifikasi ini disebut turut menjadi perhatian Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB. Polda NTB pun berencana segera berkoordinasi dengan pihak kejaksaan.
“Apakah kasus ini ada kaitan dengan dugaan dana siluman yang sedang diusut Kejati, kami belum tahu. Kami akan koordinasi dulu,” ujar Endriadi.
Informasi yang dihimpun, penyelidikan kasus ini bermula dari laporan seorang mantan anggota DPRD NTB. Laporan tersebut menyoroti dugaan gratifikasi dan pemotongan dana Pokir tahun anggaran 2025 oleh pihak eksekutif.
Dalam laporan itu disebutkan, pemotongan dilakukan dengan alasan efisiensi anggaran, mengacu pada Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 2 dan Nomor 6 Tahun 2025. Namun, pelapor menilai dasar hukum kedua aturan itu lemah dan bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi, yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2019 serta Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Pelapor juga menilai alasan efisiensi anggaran yang dikaitkan dengan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tidak relevan. Sebab, instruksi tersebut hanya mengatur efisiensi perjalanan dinas dan kegiatan seremonial, bukan menyasar program aspirasi masyarakat seperti Pokir.












