SUMBAWAPOST.com, Mataram – Dugaan praktik pemotongan dana bantuan sosial (bansos) di lingkup APBD NTB 2024 mencuat ke publik. Forum Rakyat NTB resmi melaporkan oknum anggota DPRD NTB ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB pada Rabu (6/8/2025) siang, dengan nilai potongan mencapai Rp290 juta.
Dana bansos tersebut awalnya dialokasikan melalui Biro Kesra Provinsi NTB, dan disebut-sebut sudah menjadi sorotan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI. Ketua Forum Rakyat NTB, Hendrawan Saputra, menegaskan bahwa identitas oknum wakil rakyat yang terlibat sudah mereka kantongi.
“Kami sudah resmi melapor ke Kejaksaan. Nama oknumnya akan kami buka ke publik pada waktunya. Dugaan kami, potongan ini mencapai 80 persen dari nilai bansos yang diterima kelompok,” ujar Hendrawan.
Menurutnya, pungutan liar dana bansos bisa dijerat Pasal 368 KUHP tentang pemerasan dengan ancaman 9 tahun penjara. Jika terbukti dilakukan oleh penyelenggara negara, pelaku dapat dijerat Pasal 12 huruf e UU Tipikor dengan ancaman maksimal 20 tahun penjara.
Hendrawan berharap Kejati NTB serius menindak dugaan pungli ini. “Ini perbuatan melawan hukum yang merugikan masyarakat. Harus diusut tuntas,” tegasnya.
Berdasarkan data BPK, Biro Kesra pada 2024 menyalurkan bansos uang senilai Rp1,025 miliar kepada 41 kelompok penerima. Masing-masing kelompok mendapatkan Rp25 juta, sesuai SK Gubernur NTB Nomor 90.1.5-727 Tahun 2024, dengan mekanisme transfer langsung (LS) ke rekening kelompok penerima pada 12–23 Desember 2024.
Namun, uji petik kepada 40 kelompok penerima mengungkap fakta bahwa 16 kelompok hanya menerima dana yang sudah dipotong. Nilai total potongan mencapai Rp290 juta, dilakukan oleh pihak yang tidak berhak, termasuk ketua kelompok penerima.
Nama-nama yang disebut antara lain Ketua Kelompok FNA (And), Ketua Kelompok MJM (Arf), Ketua Kelompok Brh (Msr), dan Ketua Kelompok UKM GN (By). Tiga di antaranya juga berperan sebagai pendamping/koordinator kelompok di Kota Mataram, Lombok Tengah, dan Lombok Timur.
Modusnya, kelompok diminta menarik seluruh dana bansos secara tunai, lalu menyerahkannya ke pendamping. Pendamping kemudian memberikan sisa uang yang sudah dipotong, dengan alasan untuk menyesuaikan proposal. Namun belakangan terungkap, potongan itu dipakai untuk kepentingan pribadi.
Praktik ini terbongkar ketika Biro Kesra memeriksa Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) pada Januari 2025. Sejumlah kelompok penerima tidak bisa menunjukkan bukti penggunaan dana sesuai nominal yang masuk ke rekening mereka.
Temuan ini memperkuat laporan Forum Rakyat NTB bahwa dana yang seharusnya membantu masyarakat justru dikorupsi melalui skema pemotongan terstruktur.












