SUMBAWAPOST.com, Bima – Reklamasi Pantai Amahami, Kota Bima, terus menuai kontroversi. Proyek yang dinilai melanggar tata ruang dan hukum pengelolaan wilayah pesisir itu kini disorot keras oleh berbagai elemen, bahkan dianggap lebih brutal daripada kasus reklamasi pagar laut di Banten. Namun sayangnya, aparat penegak hukum seperti Kejaksaan Tinggi dan Polda NTB hingga kini belum menunjukkan tindakan tegas.
Dalam Perda Provinsi NTB Nomor 3 Tahun 2010 tentang RTRW Provinsi NTB Tahun 2009–2029, kawasan pesisir Teluk Bima masuk kategori Kawasan Strategis Provinsi, dengan peruntukan bagi sektor perikanan, pertanian, dan pariwisata. Artinya, seluruh aktivitas pemanfaatan ruang, apalagi reklamasi, harus tunduk pada ketentuan hukum dan memiliki izin resmi.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pengelolaan laut hingga 12 mil adalah kewenangan Pemerintah Provinsi. Sayangnya, reklamasi di Amahami dilakukan tanpa izin yang sah dari Pemprov NTB, menjadikannya aktivitas yang patut diduga ilegal.
Lebih lanjut, Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 17 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2014 (perubahan dari UU No. 27/2007) mewajibkan setiap pemanfaatan ruang pesisir untuk memiliki izin lokasi, yang harus merujuk pada Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K). Tanpa dokumen itu, reklamasi apapun bisa dikategorikan melanggar hukum.
HMI: Ini Kejahatan Struktural yang Dibiarkan
Ketua Bidang PTKP Badko HMI Bali-Nusra David, angkat suara keras terhadap mandeknya penegakan hukum atas reklamasi ilegal tersebut.
“Reklamasi Amahami bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi sudah masuk ranah kejahatan struktural yang dibiarkan. Aparat penegak hukum seperti Kejati dan Polda NTB seakan tutup mata. Di mana keberpihakan hukum terhadap lingkungan dan masyarakat?,” tegas David, saat menyampaikan keterangan ke media SUMBAWAPOST, Sabtu (19/7).
Ia juga menilai, proyek reklamasi ini bukan sekadar urusan pembangunan, tapi sarat kepentingan oligarki lokal dan mafia tanah.
“Kami menduga kuat ada konspirasi jahat antara oknum pemerintah, pemilik modal, dan pihak swasta. HMI akan membawa isu ini ke ranah nasional jika tidak ada tindakan tegas dari aparat hukum di NTB,” tambahnya.
Desakan Penyelidikan Serius
Dalam investigasi lapangan, aktivitas reklamasi di kawasan Pantai Amahami berlangsung cukup masif, termasuk pembangunan masjid terapung dan jalan di sepanjang bibir pantai. Namun tidak satupun dari proyek itu memiliki izin yang jelas dan sesuai dengan regulasi pesisir.
Ironisnya, pejabat daerah di Kota Bima justru cenderung membela proyek ini, tanpa transparansi kepada publik terkait Amdal, izin lokasi, atau dokumen RZWP3K.
Atas dasar itu, masyarakat sipil, mahasiswa, dan aktivis lingkungan mendesak agar Kejati dan Polda NTB segera menyelidiki dan memproses secara hukum seluruh pihak yang terlibat. Tidak boleh ada impunitas dalam kejahatan terhadap ruang laut dan lingkungan hidup.
“Jika Kejati dan Polda NTB tak berani bertindak, maka HMI Badko Bali-Nusra siap menggalang konsolidasi nasional untuk mendesak KPK dan Kejagung turun tangan langsung. Ini soal kedaulatan ruang dan keadilan ekologis,” pungkas Dafid.












