Kuasa Hukum Anggota DPRD NTB dari Partai Golkar Inisial EL, Apriyadin, S.H., menepis tegas pemberitaan yang menyebutkan permohonan praperadilan kliennya ditolak oleh Pengadilan Negeri Dompu. Ia menegaskan, putusan tersebut bukanlah penolakan secara materiil, melainkan dinyatakan ‘Prematur’ karena belum memenuhi syarat formil untuk diperiksa pokok perkaranya. Menurut Apriyadin, Hakim hanya menyatakan permohonan belum dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard), bukan ditolak, sehingga tidak ada kekalahan hukum bagi pihaknya dalam perkara tersebut.
SUMBAWAPOST.com, Dompu- Anggota DPRD Nusa Tenggara Barat (NTB) dari Partai Golkar, Efan Limantika (EL), melalui kuasa hukumnya Apriyadin, S.H., membantah pemberitaan yang menyebutkan bahwa permohonan praperadilan kliennya dalam Putusan Nomor 7/Prd.Pra/2025/PN Dpu telah ditolak oleh Pengadilan Negeri Dompu.
Menurut Apriyadin, amar putusan tersebut bukan merupakan bentuk penolakan terhadap materi pokok perkara, melainkan belum dapat diperiksa karena permohonan diajukan terlalu dini atau prematur.
“Bukan ditolak, tapi belum dapat diperiksa pokok perkaranya karena diajukan terlalu dini (prematur),” jelas Apriyadin saat memberikan keterangan kepada media ini, Senin (13/10/2025), menanggapi pemberitaan yang beredar.
Ia menegaskan bahwa dalam amar putusan tersebut, hakim berpendapat bahwa permohonan pemohon tidak memenuhi syarat formal, sehingga dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
“Maka terhadap pokok perkara tidak dapat dipertimbangkan lebih lanjut. Menimbang bahwa oleh karena permohonan praperadilan pemohon dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard), bukan ditolak,” terang Apriyadin.
Dalam salinan putusan itu juga disebutkan, biaya perkara dibebankan kepada pemohon, sebagaimana diatur dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 82 KUHAP, serta merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XIV/2014 dan Nomor 130/PUU-XII/2015, serta Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 4 Tahun 2016 tentang larangan peninjauan kembali putusan praperadilan.
Amar putusan menyebutkan:
DALAM EKSEPSI: Menolak eksepsi termohon seluruhnya.
DALAM POKOK PERKARA:
1. Menyatakan permohonan praperadilan pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
2. Membebankan kepada pemohon untuk membayar biaya perkara sejumlah nihil.
Putusan tersebut tercantum pada halaman 49 dari 50 halaman Putusan Nomor 7/Prd.Pra/2025/PN Dpu.
Lebih lanjut, dalam pertimbangan hukumnya, majelis hakim juga menguraikan pandangan para ahli hukum yang menjadi dasar penilaian. Bahwa pelaksanaan tugas kepolisian harus dilihat melalui tiga pendekatan, yaitu normatif, administratif, dan sosiologis. Pendekatan administratif menuntut agar penyidik bertindak sesuai ketentuan perundang-undangan.
Dalam teori hukum pidana, terdapat dua model pendekatan, yakni Crime Control Model yang menekankan tindakan represif, dan Due Process of Law Model yang menekankan tindakan preventif serta penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Asas due process of law merupakan prinsip fundamental dalam hukum yang mengandung presumption of innocence (asas praduga tak bersalah). Hal ini diadopsi secara ketat dalam Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana, yang menegaskan bahwa setiap tindakan penyidikan harus berlandaskan hukum, dan pelanggaran terhadap asas tersebut akan menghilangkan legitimasi hukum tindakan penyidikan itu sendiri.
Hakim praperadilan juga menimbang Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015, yang menegaskan bahwa SPDP (Surat Perintah Dimulainya Penyidikan) harus disampaikan kepada penuntut umum, terlapor, dan pelapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah diterbitkan. Ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi hak konstitusional para pihak.
Dalam pertimbangan berikutnya, hakim menyatakan bahwa pemohon belum berstatus tersangka, sehingga keberatan terhadap SPDP belum dapat diuji melalui praperadilan. Dengan demikian, permohonan dianggap belum memenuhi syarat formal karena diajukan terlalu dini.
“Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Hakim Praperadilan berpendapat bahwa permohonan Pemohon tidak memenuhi syarat formal, oleh karena itu harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard),” demikian bunyi amar pertimbangan hakim.
Atas dasar itu, Apriyadin kembali menegaskan bahwa menyebut gugatan praperadilan EL ‘Ditolak’ adalah tidak tepat secara hukum.
“Kami minta media dan publik berhati-hati dalam menggunakan istilah hukum. ‘Tidak dapat diterima’ (niet ontvankelijk verklaard) itu berbeda dengan ‘ditolak’ (afwijzing). Dalam kasus ini, belum ada pemeriksaan pokok perkara sama sekali, karena dianggap diajukan terlalu dini,” tegas Apriyadin.
Pihaknya, kata Apriyadin, tetap menghormati proses hukum yang berjalan namun juga menegaskan akan mengambil langkah hukum lanjutan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Kami tetap menghormati proses hukum, namun memastikan bahwa hak-hak hukum klien kami harus dilindungi. Kami juga membuka opsi langkah hukum lanjutan apabila ditemukan ketidaksesuaian dalam proses penyidikan,” pungkasnya.












