SUMBAWAPOST.com, Mataram – Rencana pembangunan smart city terbesar di Indonesia Timur senilai Rp90 triliun di pesisir selatan Lombok, kembali menyedot perhatian publik. Proyek bertajuk Marina Bay City, yang digagas dua ekspatriat asal Australia, Jamie McIntyre dan Adrian Campbell, itu disebut-sebut akan menjadi ‘Dubai Baru’ nya Indonesia dengan konsep kota hijau dan digital nomad.
Namun, di tengah gegap gempita euforia proyek raksasa itu, suara skeptis datang dari Iwan Harsono, akademisi Universitas Mataram (Unram) sekaligus pakar ekonomi dan investasi yang juga mantan pejabat tinggi di lembaga strategis pembangunan NTB.
“Ini peluang bagus, tapi saya sangat skeptis. Saya kuatir ini menyambung kisah sedih masyarakat NTB setelah kegagalan investasi Emaar Properties dan proyek kereta gantung Rinjani,” tegas Iwan kepada SumbawaPost, Sabtu (28/6/2025).
Iwan mengingatkan publik agar tidak lupa sejarah. Pada 2008 silam, masyarakat NTB pernah dijanjikan mega proyek kawasan wisata senilai Rp21 triliun oleh Emaar Properties dari Dubai, namun hingga kini tidak terealisasi satu batu pun.
Belum lama ini, proyek kereta gantung Rinjani senilai Rp6,5 triliun juga kandas setelah investor tak jelas rimbanya. Bahkan, Lombok Post edisi Sabtu, 28 Juni 2025, mengabarkan secara gamblang dalam laporan berjudul ‘Investor Kereta Gantung Menghilang’.
“Lombok sudah terlalu sering dijadikan etalase proyek impian, tapi nihil eksekusi. Harusnya kita belajar dari pola-pola ini,” tegas Iwan yang juga pernah menjabat Wakil Ketua KAPET Bima (2008–2012), lembaga strategis nasional di bawah Keputusan Presiden Nomor 89 Tahun 1996.
Menurut Iwan, proyek senilai USD6 miliar atau Rp90 triliun tersebut terlalu ambisius, terlebih dalam situasi ekonomi dunia yang penuh ketidakpastian.
“World Bank memperkirakan pertumbuhan ekonomi global 2025 hanya 2–3 persen. Di Indonesia sendiri, triwulan pertama 2025 hanya tumbuh 4,87 persen terendah sejak 2021. Investor saat ini lebih mencari zona aman, bukan proyek jangka panjang berisiko tinggi,” paparnya.
Iwan mempertanyakan transparansi pendanaan dari proyek ini, yang hingga kini belum pernah diumumkan siapa institusi keuangan yang menjadi penopang utamanya.
“Kalau tidak ada bukti pendanaan konkret, ini baru sebatas brosur cantik. Investor besar tidak cukup dengan janji, mereka harus tunjukkan komitmen dan kesiapan dana,” tegas mantan Komisaris Utama dan Plt Direktur Utama Bank BPR Mataram itu.
Marina Bay City diklaim menyasar para ekspatriat Barat, dengan janji return sewa properti 20–30% per tahun. Namun, menurut Iwan, itu segmentasi yang sangat sempit dan berisiko tinggi.
“Jumlah wisatawan dan digital nomad memang tumbuh, tapi daya beli mereka terbatas. Lombok belum punya ekosistem selengkap Bali. Tanpa infrastruktur sosial yang kuat, sulit mempertahankan mereka sebagai penghuni tetap,” ujarnya.
Iwan berharap Pemerintah Provinsi NTB tidak terburu-buru memberi karpet merah, apalagi sampai menjual narasi ‘Dubai Baru’ tanpa kajian mendalam.
“Kita butuh investasi yang realistis, inklusif, dan berkelanjutan. Jangan sampai masyarakat hanya jadi penonton, sementara keuntungan dinikmati segelintir elite asing,” tandasnya.
“NTB tidak butuh mimpi palsu. Kita butuh proyek yang membumi, berdampak langsung, bukan sekadar branding untuk menaikkan harga tanah,” pungkasnya.












