Suhu politik di Universitas Mataram (Unram) kian memanas. Aroma kriminalisasi akademik dan dugaan penjegalan calon rektor menyeruak ke permukaan, memicu gelombang kemarahan mahasiswa dan alumni. Dalam forum diskusi bertajuk ‘Matinya Demokrasi di Kampus’, sejumlah narasumber menuding senat dan pimpinan kampus terlibat dalam praktik tidak etis yang menghalangi dosen tertentu maju sebagai calon rektor. Kini, mahasiswa dan alumni bersiap turun ke jalan, mengancam akan mengepung kampus jika demokrasi terus dibungkam.
SUMBAWAPOST.com, Mataram- Suasana Kedai Bumi Resto mendadak panas tadi sore. Dalam diskusi dan konsolidasi aksi bertajuk ‘Matinya Demokrasi di Kampus: Membongkar Kejanggalan Senat dan Upaya Penjegalan Kandidat Calon Rektor Unram’, puluhan mahasiswa, alumni, dan akademisi menuding proses pemilihan rektor Universitas Mataram (Unram) penuh rekayasa, kriminalisasi, dan tekanan politik hingga muncul ancaman aksi besar-besaran bila masalah ini tak segera diusut tuntas oleh pihak berwenang.
Acara yang berlangsung pukul 14.00–17.00 WITA dan dihadiri puluhan orang terdiri dari perwakilan unit kegiatan mahasiswa, BEM, organisasi mahasiswa eksternal, perwakilan masyarakat, dan mahasiswa umum menghadirkan tiga pembicara kunci yakni Dr. Ansar (Dosen Fatepa Unram), David Putra Pratama, S.H (Alumni Unram), dan M. Affan Fadilah (Ketua DPM 2024 dan Korlap FOKUS). Diskusi dimoderatori Melinda, mahasiswa Unram.
Dr. Ansar membuka tajuk dengan kecaman keras. Menurutnya, mekanisme pendaftaran senat dan penjatuhan sanksi etik terhadap calon anggota senat penuh kejanggalan.
“Di fakultas saya tidak bisa mendaftar karena dijatuhi sanksi etik kategori berat, yang tidak berdasar, tanpa melalui proses. Dekan dijadikan tameng. Saya sudah menggugat ke PTUN sanksi itu dicabut, tapi hak saya untuk mendaftar sudah terampas. Ini akal-akalan mengerikan,” ungkapnya.
Ia menyebut ada indikasi kriminalisasi terstruktur yang sengaja dirancang untuk menghalangi kandidat.
“Regulasi internal direkayasa dengan tujuan mempertahankan kekuasaan. Demokrasi kampus saat ini stagnan bahkan bisa dikatakan mati suri. Kalau perlu, minta Kementerian turun tangan, sampai Presiden bila perlu,”ungkapnya.
David Putra Pratama menegaskan, kebebasan akademik merupakan nyawa perguruan tinggi. Ia menilai praktik yang muncul jauh dari nilai ilmu pengetahuan dan integritas Kebebasan akademik harus jadi arena ide, bukan arena preman akademik.
“Jegal-menjegal, intimidasi terhadap proses pemilihan senat, dan upaya mencari-cari kesalahan kandidat sangat memalukan,” kata David.
Alumni itu bahkan menegaskan kesiapan gerakan massa jika penyelesaian tidak dilakukan secara transparan.
“Jika ini terus terjadi, kami akan mengepung Unram. Kami siap memimpin aksi besar-besaran. Kita lawan kedzoliman preman akademik,”tegasnya.
Sementara, M. Affan Fadilah memaparkan rangkaian kejanggalan teknis yang ia dan mahasiswa himpun, menegaskan, senat yang dilantik tanpa SK jelas, sanksi etik yang hanya disampaikan lisan, keluarnya SK setelah desakan, lalu segera muncul jadwal penjaringan calon rektor sehingga kandidat yang sedang berhadapan dengan masalah etik tak sempat mendaftar. Ada pula dugaan intervensi pemimpin fakultas dalam pemungutan suara menggunakan formulir, semua menimbulkan kecurigaan kuat tentang objektivitas proses.
“Kampus adalah ruang berpikir. Kami tidak akan tinggal diam saat marwah kejujuran dikotori oleh kekuasaan pejabat,” tegas Affan selaku korlap FOKUS.
Dalam rekomendasi singkat yang dibacakan usai diskusi, peserta menuntut:
1. Transparansi penuh proses penjaringan dan pemilihan rektor.
2. Pembukaan dokumen terkait sanksi etik dan alasan penjatuhan hukuman secara tertulis kepada publik.
3. Penyelidikan independen atas dugaan kriminalisasi dan rekayasa regulasi internal.
4. Kementerian pendidikan/kemendikbud atau BKN serta pihak terkait turun tangan mengawasi proses.
Jika tuntutan itu diabaikan, peserta menegaskan akan menggelar aksi lebih besar, akan melakukan konsolidasi massa, unjuk rasa di kampus, dan pelibatan alumni hingga masyarakat luas.
Para pembicara sepakat satu hal yang dimana, proses pemilihan rektor harus kembali ke arena gagasan dan kompetisi ide, bukan intrik dan tekanan. Bila kampus kehilangan independensi dan kebebasan akademik, konsekuensinya tak hanya reputasi Unram, tetapi juga kualitas pendidikan dan kepercayaan publik akan ranah akademis di NTB.
Diskusi ini menutup diri dengan satu pesan kuat yakni bila demokrasi kampus dibungkam hari ini, generasi pembelajar besok akan menanggung dampaknya. Para peserta memberi tenggat moral kepada pimpinan universitas untuk membuka ruang dialog serius atau bersiap menghadapi gelombang aksi yang lebih besar.












