Di tengah gemerlap pariwisata yang menjual birunya laut dan indahnya pasir putih, Gili Meno justru menjerit kehausan. Ironis, di pulau yang dikelilingi air laut melimpah, warga harus berebut setetes air bersih untuk hidup. Sudah hampir dua tahun krisis ini melanda, namun solusi dari pemerintah tak kunjung tiba. Surga wisata kok haus, Pak Gubernur?, begitu kira-kira suara lirih warga yang kini hanya bisa berharap pada janji dan pipa yang belum tersambung.
SUMBAWAPOST.com, Mataram- Di tengah gemerlap pariwisata tiga Gili, jeritan warga Gili Meno menggema lantang. Warga hidup di tengah laut, tapi kehausan. Aksi Aliansi Gerakan Rakyat Peduli (Garap) NTB pada Selasa (28/10/2025) menyoroti salah satunya yakni darurat air bersih dan kekeringan struktural yang menjerat warga pulau mungil itu selama hampir dua tahun.
Air bersih sejatinya hak asasi manusia. Pasal 9 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, serta Resolusi Majelis Umum PBB 64/292 Tahun 2010, menegaskan bahwa akses terhadap air bersih adalah hak fundamental setiap orang. Namun di Gili Meno, hak itu berubah menjadi kemewahan.
Sejak pertengahan 2024, pasokan air dari PT GNE dan PT BAL terhenti total. Warga terpaksa membeli air galon dengan harga mahal, sementara hewan ternak mati kehausan. Di tengah penderitaan itu, proyek PT Tiara Cipta Nirwana (PT TCN) justru beroperasi melalui skema Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) untuk menyuling air laut menggunakan teknologi SWRO (seawater reverse osmosis). Ironisnya, aktivitas perusahaan itu disebut merusak sekitar 16 are terumbu karang di Gili Trawangan.
Kepala Dusun Gili Meno, Masrun, mengaku sudah berkali-kali menyurati pemerintah agar segera bertindak. Namun, hingga kini, krisis tak juga berakhir.
“Sudah hampir dua tahun masyarakat mengalami krisis air bersih, padahal sudah bersurat berulang kali agar pemerintah mengambil tindakan untuk menyelesaikan krisis air bersih,” ungkapnya.
Untuk memenuhi kebutuhan 267 kepala keluarga, pemerintah sempat mengirimkan air dari daratan Lombok menggunakan kapal, tetapi jumlahnya masih jauh dari cukup.
Masrun menegaskan, warganya menolak segala bentuk proyek pemenuhan air bersih yang justru merusak lingkungan laut.
“Kami ini hidup dari laut. Kalau laut kami rusak akibat aktivitas perusahaan itu, apa yang akan kami jual kepada wisatawan? Kami tidak ingin kasus di Gili Trawangan terjadi di Gili Meno,” tegasnya.
Ia juga menyebut, pengeboran bawah laut yang dilakukan perusahaan telah merusak karang biru aset hayati yang menjadi nilai jual wisata Gili Meno. Karena itu, warga mengusulkan solusi sederhana yakni menyambungkan kembali pipa bawah laut dari Gili Air ke Gili Meno tanpa melibatkan pihak swasta.
Menanggapi hal itu, Gubernur NTB Lalu Muhamad Iqbal menyatakan akan segera mengambil langkah konkret. Salah satu yang akan dilakukan adalah dengan segera mengaktifkan satgas yang akan bekerja secara komprehensif mulai dari status tanah, pemanfaatan dan persoalan air bersih. “Kita akan carikan solusi permanen masalah air ini,” kata Iqbal.
Dengan campur tangan pemerintah pusat dan komitmen daerah, warga Gili Meno berharap krisis yang menyesakkan itu segera berakhir agar air kembali mengalir, bukan hanya janji yang menguap di tengah terik pantai.












