SUMBAWAPOST.com, Mataram – Dewan Pimpinan Daerah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (DPD IMM) Provinsi Nusa Tenggara Barat mengecam tindakan Polres Kabupaten Bima yang dinilai gegabah dalam menetapkan enam orang mahasiswa sebagai tersangka. Penetapan ini menyasar massa aksi demonstrasi yang menuntut pemekaran Pulau Sumbawa dari Provinsi induk NTB.
Ketua Umum DPD IMM NTB menilai langkah Kapolres Kabupaten Bima dalam menetapkan enam mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Cipayung Plus (IMM, HMI, KAMMI, GMNI, dan PMII) terlalu tergesa-gesa dan tidak mempertimbangkan prinsip-prinsip proporsionalitas serta penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM).
“Dalam demokrasi itu dijamin oleh UUD 1945, Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 dan diperkuat oleh UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, artinya unjuk rasa yang dilakukan oleh massa aksi itu adalah hak, bukan kejahatan,” ungkapnya.
Ia menegaskan bahwa aksi tersebut mencerminkan aspirasi luas masyarakat di Pulau Sumbawa, bukan sekadar gerakan satu atau dua kelompok.
“Apalagi belakangan ini hampir setiap hari masyarakat di seluruh kabupaten/kota yang berada di Pulau Sumbawa menyuarakan pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa. Artinya, tuntutan ini bukan gerakan satu atau dua kelompok, melainkan murni gerakan rakyat yang mesti diperhatikan secara serius dan hati-hati oleh kepolisian,” terangnya.
Ia menambahkan bahwa keseimbangan antara kebebasan dan keamanan merupakan prinsip penting dalam penegakan hukum yang dikenal sebagai “checks and balances in enforcement”. Artinya, setiap tindakan aparat harus disertai mekanisme pengawasan dan akuntabilitas agar tidak menyimpang dari tujuan utama, yaitu perlindungan HAM.
Namun, tindakan sepihak dan intimidasi yang dilakukan oleh Polres Kabupaten Bima dinilai bertentangan dengan semangat Polri Presisi yang diinisiasi oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, terutama dalam aspek transparansi dan stabilitas dalam menangani aksi demonstrasi.
“Hal ini perlu dievaluasi oleh jajaran Polda NTB,” tegasnya.
Mahmud juga mengkritisi proses penetapan tersangka yang dinilai tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
“Dalam Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), penetapan tersangka dalam kasus pidana harus memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 184. Sedangkan yang dilakukan oleh penyidik Polres Bima tanpa prosedur yang jelas, tanpa pendampingan hukum, atau tanpa pemberitahuan kepada keluarga yang bersangkutan. Ini cacat formil dan tidak sesuai dengan ketentuan pasal a quo,” ujarnya.
“Artinya, penetapan tersangka ini atas pesanan politik untuk membungkam nalar kritis para peserta demonstrasi, dan menakutkan para aktivis untuk tidak menggelar aksi lanjutan.”
Atas dasar itu, pihaknya meminta Kejaksaan Negeri Raba Bima untuk segera mengevaluasi surat penetapan tersangka terhadap enam orang demonstran yang dinilai tidak memenuhi syarat formil sesuai KUHAP.
“Apabila jika dipaksakan penahanan terhadap 6 massa aksi tersebut, maka kami, Aliansi Cipayung Plus tingkat Provinsi NTB, akan menggelar pengadilan rakyat untuk menghakimi institusi penegakan hukum yang membunuh aspirasi rakyat,” tutupnya.












