SUMBAWAPOST.com, Mataram-Polemik soal keamanan Proyek Strategis Nasional (PSN) Bendungan Meninting di Kabupaten Lombok Barat terus bergulir. Kepala Balai Wilayah Sungai (BWS) Nusa Tenggara I, Eka Nugraha Abdi, menegaskan bahwa proyek senilai Rp1,4 triliun tersebut tidak dibangun di zona gempa megathrust dan telah melalui kajian geologi serta teknis yang ketat sebelum konstruksi dimulai.
“Tidak ada kebocoran, semua masih bagus. Kami punya instrumen pemantau kebocoran dan pergeseran tanah, semuanya termonitor dengan baik,” ujar Eka Nugraha Abdi usai rapat bersama Anggota Komisi V DPR RI Mori Hanafi, Kepala Dinas PUPR NTB, dan sejumlah pejabat PUPR lainnya di Mataram, Senin (6/10/2025).
Eka menegaskan struktur Bendungan Meninting dirancang mengikuti standar nasional tahan gempa tinggi.
“Sudah disesuaikan, bendungan ini tahan gempa banget,” tegasnya.
Ia juga menepis tudingan Aliansi Masyarakat Sipil NTB yang menilai proyek itu berpotensi membahayakan karena berada di jalur megathrust.
“Itu ngawur. Gempa itu kan sudah dicek dulu, di mana jalurnya, di mana patahannya. Bendungan Meninting tidak berada di pusaran gempa. Data geologi bisa dicek, tidak ada patahan aktif di lokasi tersebut,” jelas Eka.
Menurutnya, seluruh kajian teknis dan risiko tektonik dilakukan oleh tim ahli geoteknik dan kegempaan sebelum proyek dimulai.
“Kalau ada yang bilang di tengah pusaran gempa, ya mungkin ngarang-ngarang saja. Semua datanya bisa dibuka,” tambahnya.
Namun, pernyataan Eka itu justru menuai reaksi keras dari Koalisi Masyarakat Sipil NTB. Kuasa hukum koalisi, Muhammad Arif, S.H., menyebut klaim semua sudah aman perlu diuji secara terbuka karena menyangkut keselamatan publik di wilayah rawan gempa seperti Lombok.
“Apa yang disampaikan Kepala BWS justru ngawur karena bertentangan dengan fakta riset internasional tentang potensi kegempaan di wilayah Lombok,” tegas Arif.
Ia merujuk pada hasil riset ilmiah tahun 2023 oleh Prof. Kevin Furlong dari Pennsylvania State University (AS) bersama 11 peneliti dari berbagai universitas Amerika. Studi tersebut menyebutkan bahwa wilayah Nusa Tenggara Barat berada dalam sistem tektonik kompleks yang berpotensi memicu gempa megathrust berkekuatan 9 magnitudo akibat interaksi antara subduksi Australia dan busur belakang Flores.
Arif juga mengingatkan, secara hukum, pembangunan di wilayah rawan bencana wajib tunduk pada prinsip kehati-hatian (precautionary principle) sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
“Kalimat ‘semua sudah teruji aman’ bukanlah bukti hukum. Yang dapat diterima secara yuridis adalah data uji laboratorium, laporan geoteknik, dan hasil audit independen. Pemerintah wajib membuka data publik sebagaimana diatur dalam UU KIP No. 14 Tahun 2008,” papar Arif.
Berdasarkan catatan BMKG, Lombok merupakan salah satu wilayah paling aktif secara tektonik di Indonesia. Antara tahun 2018-2025, tercatat lebih dari 700 gempa signifikan mengguncang wilayah ini, termasuk gempa besar 6,9 SR pada 2018 yang meruntuhkan ribuan bangunan.
Wilayah Lombok Barat sendiri berada di antara dua sistem besar, yaitu zona megathrust selatan Jawa-Sumbawa dan sesar busur belakang Flores (Flores Back Arc Thrust) keduanya masih aktif hingga kini. “Data BMKG (2023-2025) mencatat intensitas guncangan hingga skala MMI IV–V di beberapa titik Lombok Barat. Artinya, zona tekanan masih aktif dan dapat memicu deformasi lokal meski jauh dari sesar utama,” jelas Arif.
Koalisi Masyarakat Sipil NTB berencana menggugat pernyataan resmi BBWS NT I ke pengadilan dan meminta audit teknis independen atas seluruh data keamanan Bendungan Meninting.
“Kita tidak menolak pembangunan. Kita menolak kebenaran yang tidak dibuktikan,” ujar Arif dalam forum diskusi publik.
“Bendungan boleh kuat, tapi keyakinan publik tidak bisa dibangun tanpa transparansi,”tambahnya.
Koalisi juga menyerukan agar dilakukan pembaruan AMDAL, pemantauan seismik real-time, dan audit terbuka oleh lembaga independen seperti BMKG, PVMBG, universitas, dan Himpunan Ahli Teknik Tanah Indonesia (HATTI).
Jika terbukti ada kelalaian dalam kajian risiko gempa, pihak terkait dapat dimintai pertanggungjawaban hukum atas pelanggaran prinsip kehati-hatian dan potensi pengabaian keselamatan publik.












