Oleh: Suaeb Qury
Wakil Sekretaris Wilayah PW NU Provinsi NTB
DI TENGAH gempuran investasi pertambangan berskala raksasa yang acapkali meninggalkan jejak luka lingkungan dan memicu konflik sosial, kehadiran tambang rakyat muncul sebagai opsi strategis yang layak untuk diperjuangkan. Inisiatif yang lahir dari akar rumput ini tak hanya mencerminkan semangat kemandirian, tetapi juga menjadi wujud nyata dari upaya masyarakat sipil dalam memperjuangkan kesejahteraan berbasis potensi lokal.
Maraknya aktivitas tambang rakyat di berbagai penjuru tanah air, termasuk di Nusa Tenggara Barat, merupakan sinyal kuat adanya potensi ekonomi luar biasa yang belum tertata secara legal dan berkeadilan. Tambang rakyat bukan sekadar kegiatan menggali emas dengan alat seadanya, tetapi merupakan ekspresi dari perjuangan rakyat kecil untuk mendapatkan nafkah dari kekayaan alam di sekitarnya.
Konstitusi kita, Undang-Undang Dasar 1945, sejatinya telah memberi jaminan atas pengelolaan sumber daya alam demi kepentingan rakyat. Pasal 33 ayat (3) menyebut: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Frasa ‘dikuasai oleh negara’ tidak boleh ditafsirkan sebagai dominasi segelintir elit birokrasi atau kongsi pemodal besar, tetapi merupakan amanah untuk mengatur, mengelola, dan mendistribusikan hasilnya demi kepentingan seluruh rakyat, terutama masyarakat di lingkar tambang.
Oleh karena itu, membingkai tambang rakyat dalam struktur hukum seperti koperasi atau badan usaha yang sah bukan hanya langkah administratif semata, melainkan manifestasi dari mandat konstitusi. Ini adalah soal keadilan, kedaulatan, dan hak rakyat atas tanah airnya sendiri.
Koperasi Tambang Rakyat: Menyatukan Kesejahteraan dan Kelestarian
Gagasan mendirikan Koperasi Tambang Rakyat (KTR) bisa menjadi titik temu antara legalitas, kesejahteraan, dan kelestarian. Melalui koperasi, para penambang rakyat bisa bekerja secara tertib, aman, dan berkelanjutan. KTR dapat menjadi pintu masuk untuk memperoleh perizinan resmi, pelatihan teknis, serta akses pasar yang lebih luas.
Di sisi lain, koperasi juga membuka ruang pengawasan kolektif agar aktivitas tambang tak menjelma menjadi tambang liar yang merusak lingkungan atau menjadi sasaran empuk bagi para cukong.
Namun realitas di lapangan masih jauh dari ideal. Prosedur perizinan tambang rakyat hingga kini masih berbelit-belit, mempersulit rakyat kecil, dan sering kali menjadi penghalang legalitas. Kondisi ini justru mendorong praktik tambang ilegal tumbuh subur tanpa kontrol lingkungan dan akuntabilitas sosial.
Negara harus segera hadir dengan keberpihakan yang tegas. Pemerintah daerah, dinas terkait, bahkan organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama perlu mendorong lahirnya regulasi yang memberi kemudahan dalam memperoleh Izin Pertambangan Rakyat (IPR), tanpa mengorbankan keberlanjutan lingkungan hidup.
Mendukung tambang rakyat bukan berarti membuka ruang eksploitasi tak terkendali. Justru dengan regulasi dan pendampingan yang tepat, tambang rakyat bisa menjadi solusi adil untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus menjaga harmoni dengan alam.
Sudah waktunya kita kembali menjiwai semangat UUD 1945, bahwa bumi, air, dan kekayaan alam di dalamnya adalah milik rakyat yang harus dikelola oleh negara untuk kemakmuran bersama, bukan hanya untuk segelintir elite.












