Nusa Tenggara Barat (NTB) ibarat negeri dengan surga tambang, namun rakyatnya hidup dalam neraka kemiskinan. Di balik kilauan emas, tembaga, dan mineral melimpah, wajah kesejahteraan rakyat justru buram. Akademisi Universitas Mataram (Unram), Taufan, membeberkan ironi pedih ini. Tambang terus dikeruk, emas keluar, tapi rakyat tetap jadi penonton.
SUMBAWAPOST.com, Mataram- Nusa Tenggara Barat (NTB) dikenal sebagai surga tambang dengan perut bumi yang menyimpan emas, tembaga, dan mineral berlimpah. Namun, ironinya, masyarakat di sekitar tambang masih hidup dalam kemiskinan ekstrem.
Akademisi Universitas Mataram (Unram), Taufan, menyebut kondisi ini sebagai paradoks pembangunan yang harus segera disadari pemerintah. Dalam diskusi publik bertema ‘Menghitung Untung-Buntung Izin Pertambangan Rakyat’ yang digelar Detikntb.com, Sabtu (6/9/2025), di Mataram, Taufan membeberkan fakta getir yang membuat ruangan mendadak hening.
“Pertambangan di NTB ini sektor kunci. Pendapatan daerah banyak dihasilkan dari tambang. Tapi semakin dieksploitasi, kesejahteraan rakyat justru tak juga hadir di depan mata,” tegasnya.
Menurut Taufan, keberadaan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) diatur jelas dalam UU No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba dan revisinya di UU No. 3 Tahun 2020. Regulasi ini sejatinya memberi ruang bagi masyarakat lokal untuk ikut menikmati hasil tambang secara legal.
Sayangnya, fakta di lapangan jauh berbeda. Izin boleh, tapi rakyat tetap tak menikmati hasilnya.
“Secara hukum boleh, tapi bukti peningkatan kesejahteraan itu belum ada. Yang paling banyak menikmati justru pihak luar,” ujarnya.
Berdasarkan data BPS, NTB masih masuk kategori provinsi dengan kedalaman dan keparahan kemiskinan di atas rata-rata nasional. Tambang tetap jalan, emas keluar, tetapi rakyat hanya menjadi penonton.
Taufan bahkan menyamakan konsep izin tambang dengan penjualan minuman keras.
“Kalau minuman keras dijual bebas karena berbahaya, tambang pun sama. Risiko sosial dan lingkungannya besar, tapi tetap diberi izin. Jadi, jangan heran kalau yang kaya tetap kaya, sementara rakyat tetap merangkak,” sindirnya.
Taufan menegaskan, pemerintah pusat dan daerah harus serius menetapkan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) berbasis kajian akademik agar aktivitas tambang tak hanya legal, tetapi juga bermanfaat nyata untuk masyarakat.
Ia juga mengingatkan bahwa tata kelola pertambangan tidak boleh sekadar mengejar pertumbuhan ekonomi. Keadilan sosial dan kelestarian lingkungan harus menjadi pijakan utama.
“Kalau emasnya keluar tapi kemiskinan tetap menggila, itu artinya ada yang salah. Jangan sampai NTB jadi contoh buruk, izinnya ada, tambangnya jalan, tapi rakyat tetap melarat,” pungkasnya.












