SUMBAWAPOST.com, Mataram– Pernyataan Menteri Dalam Negeri Prof. Muhammad Tito Karnavian, Ph.D dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi 2025 yang menyoroti kontraksi ekonomi NTB sebesar minus 1,47 persen, mendapat tanggapan kritis dari akademisi Universitas Mataram.
Dr. Iwan Harsono, SE., M.Ec, Dosen Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Mataram, menilai angka tersebut merupakan statistical illusion atau ilusi statistik yang menyesatkan jika dijadikan indikator utama kesejahteraan masyarakat NTB.
“Pertumbuhan ekonomi/tingkat kesejahteraan masyarakat NTB pada Triwulan I 2025 sebenarnya mencapai 5,57 persen, meningkat dibandingkan Triwulan I 2023 yang sebesar 3,01 persen dan Triwulan I 2024 yang sebesar 4,65 persen,” jelas Dr. Iwan Harsono.
Menurutnya, data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) memang sah sebagai acuan utama, tetapi interpretasinya harus dilakukan secara cermat, terutama ketika sektor pertambangan mendominasi komposisi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) NTB.
Non-Tambang Lebih Representatif Ukur Kesejahteraan
Dr. Iwan menekankan bahwa pertumbuhan ekonomi non-tambang jauh lebih relevan untuk menilai kesejahteraan 5,6 juta penduduk NTB secara makro.
Sektor pertambangan, seperti PT Amman Mineral di Sumbawa Barat, memang menyumbang besar terhadap PDRB, namun manfaat langsungnya terhadap masyarakat terbatas. “Sektor ini padat modal, bukan padat karya, nilai tambah dinikmati pusat dan luar negeri, dan tidak banyak menggerakkan sektor-sektor lain seperti UMKM, petani, dan nelayan,” ujar Iwan.
Fluktuasi harga tembaga dan emas di pasar global serta kebijakan larangan ekspor konsentrat mineral mentah oleh pemerintah pusat juga menambah volatilitas sektor ini. Alhasil, meski PDRB naik-turun tajam, sektor riil masyarakat seperti konsumsi, perdagangan, pertanian, dan jasa tetap tumbuh stabil.
Ilusi Pertumbuhan: Masyarakat Tak Merasakan
Ia mencontohkan, tahun 2022 dan 2023 pertumbuhan ekonomi NTB mencapai 6–7 persen karena ekspor tembaga. Namun, masyarakat kecil tidak merasakan efeknya: inflasi naik, harga bahan pokok melambung, sektor pertanian stagnan, dan pengangguran tetap tinggi.
“Kalau indikator seperti itu dijadikan ukuran utama kesejahteraan, maka evaluasi kebijakan akan bias besar,” tegasnya.
Indikator Lain yang Lebih Akurat
Dr. Iwan menyarankan penggunaan indikator non-tambang untuk mencerminkan kondisi ekonomi masyarakat NTB secara lebih adil dan nyata. Ini mencakup sektor pertanian, perdagangan, industri kecil, transportasi, jasa, serta konsumsi rumah tangga—sektor yang menyerap tenaga kerja terbesar di NTB.
Indikator lain yang lebih menggambarkan kesejahteraan antara lain:
- Pengeluaran per kapita (PPP)
- Tingkat kemiskinan
- Tingkat pengangguran terbuka (TPT)
- Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
- Gini Ratio
Dashboard Indikator Kesejahteraan NTB (2023–2025):

Kesimpulan: Awal Kepemimpinan yang Menjanjikan
Kontraksi ekonomi NTB pada 2025 sebesar -1,47 persen dipicu oleh penurunan tajam sektor pertambangan dan penggalian sebesar 30,14 persen. Namun, di saat yang sama, pertumbuhan ekonomi non-tambang justru meningkat tajam hingga 5,57 persen.
“Ini menunjukkan bahwa sektor riil tumbuh positif dan lebih mencerminkan realitas kesejahteraan masyarakat,” tegas Dr. Iwan.
Ia pun menilai, di awal kepemimpinan Gubernur Dr. Lalu Muhamad Iqbal dan Wakil Gubernur Hj. Indah Damayanti Putri, SE, Pemerintah Provinsi NTB telah menorehkan capaian ekonomi yang positif dan layak diapresiasi.












