SUMBAWAPOST.com, Mataram- Mantan Anggota DPRD Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) periode 2019-2024 sekaligus pelapor Gubernur NTB dan Kepala BPKAD, TGH Najamuddin Mustafa, menyampaikan apresiasi tinggi terhadap kinerja Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB dalam menangani berbagai kasus besar yang menjadi sorotan publik, khususnya kasus dugaan ‘Dana Siluman’ dalam pengelolaan dana pokok pikiran (Pokir) DPRD NTB tahun 2025.
Menurutnya, kasus tersebut kini telah resmi naik ke tahap penyidikan sejak akhir bulan lalu sebuah sinyal kuat bahwa penyidik mulai menemukan bukti-bukti yang signifikan.
“Kami selaku warga NTB menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya atas perkembangan penanganan kasus tersebut. Dengan dinaikkan dari tahap penyelidikan ke penyidikan, artinya penyidik sudah memiliki sejumlah alat bukti. Saya yakin dalam waktu dekat, sejumlah anggota DPRD NTB akan ditetapkan sebagai tersangka,” ujar TGH Najamuddin. Kamis (23/10/2025) dalam keterangan yang disampaikan ke media ini.
Najamuddin menjelaskan, hingga saat ini puluhan anggota DPRD NTB dari berbagai fraksi dan partai telah dipanggil serta diperiksa oleh Kejati NTB dalam rangka pendalaman kasus tersebut.
“Setahu saya, sudah banyak dari teman-teman Dewan yang dipanggil. Di antaranya dari Fraksi Golkar, Fraksi Demokrat, Fraksi Partai Gerindra dan juga Fraksi Persatuan Perjuangan Restorasi (PPR) gabungan dari Partai NasDem, PDIP, dan Perindo. Beberapa yang saya dengar sudah dipanggil seperti inisial S dari NasDem, MNI dari Perindo, S dari PDIP, AU dari Fraksi Gerindra, Fraksi Golkar H dan Fraksi Partai Demokrat IU,” ungkapnya.
TGH Najamuddin menilai, langkah Kejati NTB menunjukkan keseriusan aparat hukum dalam menegakkan keadilan tanpa pandang bulu, termasuk terhadap pejabat publik yang terlibat dalam kebijakan anggaran.
“Saya yakin calon tersangkanya sudah ada, tinggal kita tunggu siapa saja nanti, tanpa mendahului keputusan resmi dari Kejati NTB,” tambahnya.
TGH Najamuddin mengungkapkan, akar persoalan bermula dari pemotongan program pokok pikiran rakyat (Pokir) DPRD NTB dalam APBD Tahun Anggaran 2025 yang diduga kuat dilakukan oleh Pemerintah Provinsi NTB melalui Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD).
Menurutnya, dalih pemotongan yang disampaikan pemerintah adalah kebijakan efisiensi anggaran sesuai instruksi pemerintah pusat. Namun, TGH Najamuddin menilai alasan tersebut tidak tepat. Sebab, seluruh program Pokir merupakan pekerjaan fisik yang justru dikecualikan dari kebijakan efisiensi.
“Karena program Pokir tersebut seluruhnya berupa pekerjaan fisik, maka seharusnya tidak boleh dipotong karena dikecualikan dari kewajiban efisiensi. Kendati begitu, BPKAD bergeming. Program Pokir tersebut tetap dipotong,” ujarnya.
Atas kebijakan itu, TGH Najamuddin bersama sejumlah anggota DPRD NTB menemui langsung Gubernur NTB untuk tabayyun. Mereka diterima di ruang kerja Gubernur. Dalam pertemuan tersebut, Gubernur Iqbal membantah bahwa dirinya berada di balik pemotongan program Pokir para wakil rakyat.
“Gubernur menyampaikan bahwa hal tersebut sudah sangat teknis. Bahkan, jika pun terdapat pemotongan, Gubernur Iqbal menyebut itu adalah kewenangan internal dan diatur pimpinan DPRD NTB,” ungkap Najamuddin.
Namun, menurutnya, jawaban tersebut tidak sesuai dengan fakta di lapangan.
“Sebagai pengusaha, sebagai mantan Anggota Badan Anggaran DPRD NTB lima tahun, tentu kami tahu mekanisme,” tandas TGH Najamuddin.
Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) ini menegaskan, tidak masuk akal jika program Pokir dipotong oleh pimpinan DPRD, kecuali program tersebut masih dalam tahap pembahasan anggaran. Faktanya, kata Najamuddin, pemotongan dilakukan setelah program tersebut sudah masuk Daftar Pelaksanaan Anggaran (DPA). Itu berarti, APBD NTB Tahun Anggaran 2025 telah disahkan, dievaluasi oleh Kementerian Dalam Negeri, dan dikembalikan ke Pemprov untuk dieksekusi.
“Jadi bentuknya sudah bukan lagi Pokir. Tapi sudah dalam program pembangunan. Ada irigasi, embung rakyat, rabat jalan desa, dan proyek-proyek fisik lainnya yang sangat dibutuhkan masyarakat,” ujarnya.
Najamuddin menambahkan, jika kini kasus tersebut terus bergulir dan menjadi perhatian publik, hal itu karena peringatan mereka diabaikan sejak awal.
“Kami sudah mengingatkan agar pemotongan itu tidak dipaksakan. Tapi rupanya tetap saja dilakukan,” katanya.
Lebih jauh, ia mengungkapkan bahwa pemotongan program Pokir tidak dilakukan secara merata. Hanya anggota DPRD NTB yang tidak terpilih kembali pada periode 2024-2029 yang menjadi sasaran kebijakan tersebut.
Dari 65 anggota DPRD NTB periode 2019-2024, terdapat 39 orang yang tidak terpilih kembali, dan mereka inilah yang menjadi korban pemotongan.
“Fatsun politiknya sudah jelas. Program Pokir dalam APBD NTB Tahun 2025 masih menjadi hak para anggota DPRD periode sebelumnya, karena aspirasi itu berasal dari mereka, didaftarkan atas nama mereka di aplikasi e-Pokir, dan disahkan dalam paripurna DPRD NTB pada 21 Agustus 2024 saat mereka masih menjabat,” tegasnya.
Anggota DPRD periode 2024-2029 sendiri baru dilantik pada 2 September 2024. Dari sinilah muncul kecurigaan adanya permainan di balik pemotongan tersebut.
“Kami mulai menelusuri apa yang sebenarnya terjadi, dan tercium lah aroma tak sedap. Diduga ada bagi-bagi uang yang menyasar kepada para anggota DPRD NTB pendatang baru,” ungkap Najamuddin.
Ia menjelaskan, beberapa oknum anggota dewan baru diduga menjadi koordinator pembagian uang kepada sesama anggota baru, yang disinyalir merupakan fee dari anggaran program yang didapatkan. Program tersebut diduga berasal dari pemotongan program Pokir milik anggota DPRD lama yang tidak terpilih kembali.
Seharusnya, anggota DPRD NTB lama mendapat program Pokir Rp4 miliar di APBD 2025, tetapi dipotong menjadi hanya Rp1 miliar. Dari pemotongan itu, masing-masing anggota baru diduga mendapatkan program senilai Rp2 miliar. Namun, di lapangan informasinya bukan dalam bentuk program, melainkan fee sekitar 15 atau setara dengan sekitar Rp300 juta.
Lebih mengejutkan lagi, Najamuddin mengaku telah memiliki rekaman pembicaraan yang memperkuat dugaan tersebut.
“Penelusuran kami bahkan sudah mendapatkan bukti dalam bentuk rekaman. Kami dapat rekaman pembicaraan saat orang-orang ini mengatur hal ini,” ujarnya tanpa menyebut nama.
Najamuddin meyakini, seandainya pemotongan Pokir itu tidak terjadi, kasus hukum ini tak akan pernah muncul. Ia juga menegaskan bahwa dugaan bagi-bagi uang siluman tersebut murni inisiatif pribadi sejumlah oknum anggota dewan, bukan arahan pimpinan DPRD.
“Saya yakin, Ibu Ketua DPRD NTB dan pimpinan yang lain tidak terlibat. Pelaku kasus ini main di belakang. Jadi kalau ditanya ketua dan pimpinan, mereka nggak akan tahu ini. Ini murni inisiatif perorangan,” tandasnya.












