SUMBAWAPOST.com, Mataram – Akademisi Fisip Universitas 45 Mataram sekaligus Pengamat Politik, Dr. Alfisyahrin, menjelaskan dasar-dasar prinsip meritokrasi dalam konteks kekuasaan dan birokrasi. Menurutnya, praktik meritokrasi tidak mudah diterapkan, terutama dalam konfigurasi politik saat ini.
Ia menegaskan bahwa Gubernur dan Wakil Gubernur merupakan produk politik, sehingga meritokrasi rentan dibelokkan oleh kepentingan.
“Meritokrasi ini sebetulnya bukan barang baru, yang pada praktiknya lazim dalam kekuasaan kita; ini tidak mudah dilaksanakan. Setidaknya sulit menemukan momentum,” jelasnya.
Pernyataan itu ia sampaikan dalam dialog publik bertema ‘Meritokrasi Ala Iqbal-Dinda: Solusi Birokrasi atau Gimik Politik?’ yang digelar oleh Pojok NTB di Meeino Warking, Kota Mataram, pada Jumat malam (16/5/2025). Acara tersebut dihadiri ratusan peserta dari berbagai latar belakang, mulai dari akademisi, aktivis, advokat, LSM, pegiat, hingga mantan pejabat.
Dialog ini digagas sebagai ruang untuk menyampaikan kritik, koreksi, dan alternatif pandangan atas kebijakan pemerintahan Iqbal-Dinda, khususnya soal meritokrasi.
Alfisyahrin menyampaikan, sistem kekuasaan di Indonesia tak bisa dilepaskan dari dominasi instrumen-instrumen politik yang kerap mengendalikan arah keputusan, termasuk dalam birokrasi.
“Mengapa? Karena dalam platform kekuasaan kita, itu diatur oleh instrumen-instrumen lain yang mengendalikan setiap keputusan, termasuk mesin birokrasi,” imbuhnya.
Ia menyoroti adanya patronase kekuasaan yang kuat, yang berimplikasi langsung pada birokrasi yang berjalan bukan atas dasar kompetensi, tetapi pengaruh.
“Di NTB, kita belum menemukan dalil logis mengapa kebijakan ini jadi arus utama di awal kepemimpinan Iqbal-Dinda,” paparnya.
Lebih jauh, Alfisyahrin memaparkan adanya praktik “back stage” atau panggung belakang kekuasaan, di mana meritokrasi hanya dijadikan jargon sementara pengambilan keputusan tetap dikendalikan oleh kepentingan.
“Meritokrasi jadi sebatas teori. Tetapi di belakang panggung, tetap ada ruang akomodasi kepentingan. Ada ruang pengaruh kepentingan,” jelasnya.
Secara khusus, ia menyoroti mutasi pejabat yang dilakukan Iqbal-Dinda beberapa pekan lalu. Menurutnya, kebijakan tersebut belum mencerminkan prinsip meritokrasi secara utuh.
“Mutasi kemarin belum sepenuhnya mencerminkan prinsip meritokrasi. Kalau kita lihat rekam jejak dari 72 pejabat, ada beberapa pejabat yang tidak mencerminkan esensi meritokrasi. Kalau saya lihat, baru 40 persen prinsip meritokrasi dijalankan,” paparnya.
Ia menekankan bahwa bangunan meritokrasi seharusnya berdiri di atas tiga pilar utama: kapabilitas, prestasi, dan kualifikasi. Namun ia khawatir, narasi meritokrasi yang digaungkan Gubernur Iqbal hanya sebatas upaya manipulatif untuk membentuk persepsi publik.
Padahal, menurutnya, realitas politik yang sarat kepentingan transaksional membuat kebijakan kekuasaan jauh dari sterilitas nilai-nilai ideal meritokrasi.












