SUMBAWAPOST.com, Mataram- Polemik dugaan penyimpangan dalam proyek Rehabilitasi dan Peningkatan Irigasi Bintang Bano terus bergulir. Setelah kritik tajam dari kuasa hukum masyarakat sipil, Muhammad Arief, publik kini menantikan langkah nyata dari Aparat Penegak Hukum (APH), baik Kejaksaan, Kepolisian, maupun KPK.
Arief menyoroti sejumlah dugaan penyimpangan teknis, termasuk penggunaan beton precast (U-Ditch) yang diduga dicetak sendiri oleh kontraktor di lokasi proyek, bukan melalui pabrik bersertifikasi. Ia juga menyinggung tertutupnya data publik akibat sistem e-catalog, serta potensi pelanggaran Surat Edaran Menteri PUPR No. 15 Tahun 2019 yang mengatur pengendalian mutu beton. Selain itu, kualitas pasir lokal dipertanyakan karena dianggap tidak memenuhi standar teknis konstruksi skala besar.
Dari perspektif hukum, proyek ini berpotensi menimbulkan pelanggaran serius. Dugaan ini bukan sekadar persoalan teknis, karena UU No. 2/2017 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah menekankan transparansi, sertifikasi mutu, dan memberi dasar sanksi administratif, bahkan potensi tindak pidana korupsi. Arief menekankan adanya dugaan penyalahgunaan wewenang, manipulasi teknis, dan kerugian negara, termasuk kemungkinan penunjukan langsung atau kolusi tender.
Masyarakat sipil menuntut APH mengambil langkah konkret agar kasus ini tidak berhenti di ranah wacana:
- Audit forensik konstruksi untuk menghitung kerugian negara dan menguji kesesuaian antara kontrak dan realisasi fisik.
- Pengujian laboratorium independen terhadap mutu beton, agregat, dan material lain oleh lembaga bersertifikasi.
- Rekonstruksi dokumen kontrak dan tender untuk menelusuri potensi kolusi atau manipulasi spesifikasi.
- Pemeriksaan pejabat dan kontraktor mulai dari PPK, pengawas proyek, hingga penyedia material.
- Penyitaan dokumen dan barang bukti, termasuk kontrak, foto progres, serta peralatan cetak beton di lokasi.
Sebelumnya, Tim Pengamanan Pembangunan Strategis (PPS) Kejati NTB menyatakan proyek ini sudah sesuai aturan. Namun publik menilai pernyataan itu harus dibuktikan melalui metode teknis terukur dan transparan.
“Pemeriksaan tidak bisa hanya bersifat administratif. Harus ada uji laboratorium independen dan audit forensik yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan hukum,” tegas Arief.
Dorongan agar kasus ini masuk ke ranah penyidikan semakin kuat. Jika bukti awal cukup, APH didesak menetapkan tersangka agar keadilan tidak berlarut.
Kasus Bintang Bano menjadi cerminan pentingnya akuntabilitas dalam proyek infrastruktur strategis. Dengan nilai investasi besar dan dampak langsung bagi masyarakat petani, proyek ini tidak boleh dikompromikan kualitas maupun integritas hukumnya.
“APH harus berani menindak, bukan hanya memantau. Ini bukan semata soal pembangunan, tetapi soal kepastian hukum dan perlindungan uang negara,” pungkas Arief.
Publik kini menanti, apakah APH akan menjawab desakan ini dengan langkah nyata, atau kembali membiarkan dugaan penyimpangan besar berlalu tanpa konsekuensi.
Terpisah, Efrien Saputra Juru Bicara (Humas) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Nusa Tenggara Barat (NTB) dihubungi media ini belum mendapat tanggapan hingga berita ini diterbitkan.












