SUMBAWAPOST.com, Mataram- Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Nusa Tenggara Barat (NTB), Ahmad Ikliludin, melayangkan kritik keras terhadap maraknya praktik akun media sosial yang menjiplak berita dari media massa lalu menyebarkannya ulang tanpa izin. Ia menegaskan, tindakan itu bukan hanya soal etika, melainkan sudah masuk ranah hukum sekaligus merusak ekosistem pers.
“Berita yang ditulis oleh jurnalis atau media adalah karya cipta yang dilindungi undang-undang, seperti UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Yang dilindungi adalah ekspresi ide tersebut, yaitu tulisan, narasi, susunan kata, dan foto atau video yang dihasilkan,” ujar Ikliludin di Mataram, Jumat (26/09/2025).
Menurutnya, meng-copy-paste isi berita secara penuh, atau bahkan sebagian besar, tanpa izin resmi dari media yang memproduksinya adalah pelanggaran serius. Konsekuensinya, media yang dirugikan bisa mengajukan teguran, permintaan penghapusan (takedown), hingga menggugat secara hukum.
Selain risiko hukum, pelaku juga bisa kena batunya dari platform media sosial.
“Setiap platform punya aturan hak cipta. Media bisa melaporkan akun pencuri konten. Sanksinya beragam, mulai dari penghapusan postingan, pembatasan akun, hingga suspensi permanen,” jelasnya.
Namun, persoalan ini tidak hanya soal hukum dan aturan platform. Ikliludin menekankan dimensi etikanya. Menurutnya, menjiplak karya orang lain lalu mengklaimnya sebagai milik sendiri adalah tindakan plagiarisme, yang dalam dunia tulis-menulis disebut sebagai dosa besar.
“Akun media sosial semacam ini tidak menghargai proses. Mereka mengambil hasil kerja keras jurnalis yang meliput, menulis, dan menyunting, tanpa memberikan pengakuan atau kontribusi apa pun. Padahal memproduksi berita itu butuh tenaga, waktu, pikiran, bahkan biaya besar,” tegasnya.
Dampak paling berbahaya, lanjutnya, adalah rusaknya ekosistem informasi. Berita yang dijiplak kerap dipotong atau diganti judulnya agar terlihat sensasional. Akibatnya, publik bisa disesatkan oleh informasi yang seolah-olah benar padahal sudah keluar dari konteks aslinya.
Lebih parah lagi, media yang menjadi sumber asli berita mengalami kerugian langsung. “Jika pembaca sudah puas dengan salinan berita di akun medsos, mereka tidak akan mengunjungi situs web media aslinya. Hal ini merugikan media secara finansial karena kehilangan pendapatan iklan, sekaligus menghambat produksi berita berkualitas,” jelas Ikliludin.
Ia menegaskan, bila para konten kreator memang ingin memanfaatkan berita dari media massa, maka jalur yang benar adalah mengantongi izin resmi dari media terkait.
“Kalau mau menjadikan pemberitaan media sebagai konten, para konten kreator harus mengantongi izin dari media bersangkutan,” pungkasnya.












