Puluhan tahun mengabdi di ruang-ruang kelas dengan gaji pas-pasan, para guru honorer swasta di Bima kini harus menelan pil pahit. Harapan mereka untuk diangkat sebagai aparatur resmi pupus, setelah pemerintah justru meloloskan PPPK baru yang baru dua tahun mengajar.
SUMBAWAPOST.com, Bima- Kisah pilu datang dari para guru honorer sekolah swasta di Kabupaten Bima. Dengan pengabdian bertahun-tahun mendidik generasi bangsa, mereka merasa diperlakukan tidak adil dibandingkan guru di sekolah negeri.
“Kenapa sekolah swasta diberi izin mendirikan sekolah, tetapi gurunya tidak diperbolehkan ikut seleksi PPPK maupun tes lainnya? Bukankah kami juga mencerdaskan anak bangsa?,” keluh Ibu Fah, salah satu guru honorer di Kecamatan Bolo, Kabupaten Bima. Senin (15/9).
Senada dengan itu, Pak Fan mengungkapkan kekecewaannya. “Saya sudah lama mengabdi, tapi karena berasal dari sekolah swasta dan tidak terdata di BKN pusat, kami hanya bisa pasrah. Rasanya sakit sekali, pengabdian kami seakan tak berarti,” ujarnya.
Kekecewaan itu semakin membuncah ketika Wakil Bupati Bima melakukan kunjungan ke sekolah swasta di Kecamatan Bolo. Dalam kesempatan itu, guru-guru menyampaikan aspirasi agar nasib mereka disetarakan dengan guru negeri. Namun, jawaban yang didapat justru membuat mereka semakin gundah.
“Data yang masuk di BKN itu sudah dari dua-tiga tahun lalu. Kami hanya mengikuti alur dari pusat. Bahkan pegawai di Kabupaten Bima ini sudah over, jadi kami sulit mengaturnya,” kata Wakil Bupati dalam kesempatan tersebut.
Namun, penjelasan itu dianggap tidak konsisten. Faktanya, ada dua versi data yang pertama sebanyak 9.809 orang PPPK paruh waktu non-ASN terdaftar di BKN, sementara 4.268 lainnya tidak terdaftar. Anehnya, dari kelompok kedua justru ada yang tetap diangkat menjadi PPPK, bahkan ada guru baru dua tahun mengabdi langsung lolos, padahal aturan jelas menyebut minimal tiga tahun.
“Lantas, apa bedanya kami guru swasta dengan mereka yang tidak terdaftar di BKN, tetapi bisa diangkat? Ini sangat ironis. Dimana keadilannya?,” tegas Ibu Anis.
Suara getir juga datang dari Ibu Ayu. Seolah pemerintah berpikir sekolah swasta itu kaya semua.
“Padahal kenyataannya berbeda, apalagi di daerah kita. Kami digaji seadanya, tapi pengabdian kami sama besarnya,” ungkapnya.
Sementara Ibu Nisa menambahkan, Di instansi negeri selalu ada kabar gembira, tapi di swasta kami hanya jadi penonton.
“Puluhan tahun kami mengabdi, tapi dianggap tak ada. Sedangkan yang baru setahun-dua tahun bisa lolos PPPK. Adilkah pemerintah ini?,”ungkapnya.
Jeritan hati guru honorer sekolah swasta di Bima ini seakan mewakili ribuan tenaga pendidik lain di seluruh Indonesia. Mereka berharap pemerintah pusat dan daerah tidak lagi menutup mata.
“Kami juga punya tugas pokok dan fungsi yang sama. Kami juga mencerdaskan anak bangsa. Kami butuh dihargai, bukan hanya dijadikan simbol keikhlasan semata,” pungkas mereka.












