SUMBAWAPOST.com, Mataram- Polemik penunjukan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) NTB kian memanas. Keputusan Gubernur NTB Lalu Muhamad Iqbal melantik Irnadi Kusuma sebagai Kepala DPMPTSP menuai kritik keras dari berbagai kalangan.
Pasalnya, Irnadi memiliki rekam jejak hukum yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Mataram, 7 Desember 2020, Irnadi dinyatakan bersalah dalam kasus tindak pidana perkawinan dan dijatuhi hukuman enam bulan penjara. Upaya kasasi yang ditempuhnya pun ditolak Mahkamah Agung pada 23 Maret 2021, sehingga vonis tersebut berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Eks Ketua Tim Hukum Iqbal-Dinda sekaligus pengacara senior, Iwan Slenk, angkat bicara terkait polemik ini. Dalam konferensi pers bersama Lombok Global Institute (Logis) NTB di Meinoo Warking Mataram, Selasa (23/9/2025), Iwan menyoroti peran Panitia Seleksi (Pansel) yang diketuai Pj Sekda NTB Lalu Moh Faozal bersama Kepala BKD Tribudi Prayitno.
“Pansel ini bekerja melakukan penjaringan dan penelitian syarat administrasi sebelum menyerahkan tiga nama ke gubernur. Dalam kasus ini, ternyata di kemudian hari ditemukan ada perbuatan pidana yang pernah dilakukan oleh yang bersangkutan dalam bentuk tindak kejahatan perkawinan,” jelas Iwan Slenk.
Menurutnya, temuan ini jelas bermasalah. Penunjukan Irnadi, kata Iwan, mengandung cacat hukum sekaligus mencederai prinsip kepatutan dan kepantasan.
“Kalau orang sudah dipidana dengan putusan inkracht, apapun jenis kejahatannya, maka secara nilai kepatutan dan kepantasan, dia tidak patut dan tidak pantas,” tegasnya.
Iwan menekankan, di atas hukum masih ada etika dan moralitas yang harus dijunjung. Karena SK pengangkatan itu mengandung cacat subjek, ia menilai gubernur sebaiknya segera mencabutnya.
“Jadi dibatalkan saja oleh gubernur. Kemudian pilih salah satu dari tiga calon lain tanpa perlu pansel ulang. Biasanya dalam SK ada klausul yang menyebutkan jika di kemudian hari terdapat kekeliruan maka SK dapat diperbaiki,” ujarnya.
Lebih jauh, ia mengingatkan pentingnya menjaga marwah pemerintahan.
“Pimpinan setingkat OPD punya jajaran di bawahnya. Dia harus jadi teladan. Gubernur tidak boleh abai, sebab ini menyangkut tipologi orang,” tutupnya.
Senada dengan Iwan, Direktur Lombok Global Institute (Logis) NTB, M. Fihiruddin, menilai terbitnya SK tersebut sebagai keputusan yang keliru.
“Ini kan ada yang keliru, ada yang tidak benar. Terus terang kami heran bagaimana prosesnya. Kami minta semua bertanggung jawab,” ujarnya.
Logis bahkan memberi tenggat waktu kepada gubernur untuk segera mencabut SK. Bila diabaikan, mereka mengancam akan menempuh langkah hukum.
“Kita akan melaporkan kepada pihak-pihak terkait. Jika perlu, kami akan uji SK tersebut di PTUN,” tegas Fihiruddin.
Ia pun mengingatkan Gubernur Iqbal agar lebih berhati-hati mengambil keputusan strategis.
“Jangan menganggap masyarakat itu bodoh,” pungkasnya.
Sebelumnya, Kepala BKD NTB, Tri Budiprayitno, menegaskan bahwa Irnadi sudah menjalani sanksi hukumnya.
“Dia sempat dinonjobkan, lalu ikut seleksi terbuka dan lolos. Secara hukum, haknya untuk bersaing sudah dipulihkan,” ujar Tri, Jumat (19/9).
Pj Sekda NTB Lalu Mohammad Faozal dan juga ketua panitia seleksi terbuka, menambahkan, memastikan bahwa seluruh rekam jejak Irnadi, termasuk kasus hukum di masa lalu, sudah dipelajari dengan teliti sebelum ia dilantik.
“Kasusnya juga sudah kita lihat, ada masa lalu yang sudah kita lakukan klarifikasi terhadap Irnadi ini. Pada prinsipnya semua hal yang berkaitan dengan Irnadi sudah kita dalami, semuanya,” ujar Faozan.
Menurutnya, panitia seleksi (pansel) bekerja dengan standar yang berlaku dalam proses pengisian jabatan pimpinan tinggi pratama. Ada persyaratan pokok maupun tambahan yang menjadi acuan, namun tidak semua catatan masa lalu otomatis menggugurkan hak seseorang untuk ikut seleksi.
“Ada standar-standarnya. Pansel itu bekerja melihat standarisasi, ada persyaratan pokok dan persyaratan ikutannya. Tidak semua itu bisa menjadi acuan bahwa dia pernah begini-begitu,” tegas Faozan.
Ia menambahkan, Gubernur NTB juga telah memberikan penekanan bahwa pejabat yang baru dilantik harus menunjukkan kinerja dalam enam bulan ke depan. Jika mampu membuktikan kinerja yang baik, maka polemik masa lalu tidak perlu lagi dipermasalahkan.
“Kan ada waktu kemarin sudah disampaikan oleh Gubernur, enam bulan mereka harus bekerja. Kalau kerjanya baik, ya saya kira tidak ada masalah,” jelasnya.
Lebih jauh, Faozan menegaskan bahwa proses seleksi yang melibatkan Irnadi telah dilakukan sesuai aturan. “Artinya, secara pribadi yang namanya Irnadi itu sudah melalui proses mengikuti seleksi dan lain-lain,” pungkasnya.
Terpisah, Ketua Umum Badan Koordinasi Himpunan Mahasiswa Islam (Badko HMI) Bali-Nusra, Caca Handika, menegaskan bahwa keputusan Gubernur NTB melantik mantan terpidana sebagai kepala dinas merupakan langkah yang mencederai prinsip meritokrasi, seolah-olah NTB kehabisan sumber daya manusia yang berintegritas.
“Saya menilai keputusan Gubernur NTB tersebut sama sekali tidak mencerminkan meritokrasi. Kami dengan tegas tidak mendukung. Seakan-akan di NTB ini tidak ada lagi figur yang layak, padahal sumber daya manusia kita sangat banyak dan berkualitas,” ujarnya, Minggu (21/9).
Caca menambahkan, jabatan kepala dinas bukanlah posisi sembarangan, melainkan jabatan strategis di tingkat provinsi yang menuntut integritas, rekam jejak bersih, dan bebas dari persoalan hukum.
“Bagaimana masyarakat bisa percaya jika pejabat yang diangkat justru pernah tersandung kasus hukum, apalagi berstatus eks napi? Ini jelas bertentangan dengan semangat meritokrasi dan prinsip birokrasi yang mengedepankan integritas serta kepatutan moral,” tegasnya.
Ia menilai, secara hukum memang tidak ada larangan mutlak. Tapi dari sisi kepatutan, integritas, dan kepercayaan publik, ini jelas bermasalah.
Ketua BADKO HMI Bali Nusra mengingatkan, agar regulasi ASN menekankan pejabat tinggi harus berintegritas dan memiliki rekam jejak bersih. Memang tidak ada larangan, Tapi perlu di ingat secara etis bisa menurunkan wibawa birokrasi.
“Kepala OPD adalah jabatan strategis yang butuh legitimasi moral,” tambahnya.
Ia juga menilai keputusan gubernur ini bisa mencederai semangat meritokrasi.
“Kalau integritas bukan jadi ukuran utama, publik bisa menilai pemerintah inkonsisten dengan komitmen reformasi birokrasi,” tutupnya.
Sementara, suara berbeda datang dari Direktur Lembaga Pengembangan Wilayah (LPW) NTB, Taufan, yang juga dosen muda Universitas Mataram. Menurutnya, tidak ada yang salah dengan keputusan tersebut selama proses hukum telah dijalani dan ada penyesalan mendalam dari yang bersangkutan.
“Dalam hukum pidana, ratio legis dari tujuan pemidanaan adalah memperbaiki pelaku, memulihkan korban, dan mencegah kejahatan terulang di masa depan. Yang paling penting adalah ada penyesalan yang mendalam dan tidak mengulangi perbuatan. Kalau itu sudah terpenuhi, seharusnya kita memberi ruang bagi yang bersangkutan untuk melanjutkan hidup,” ujar Taufan.
Ia menekankan, mantan narapidana pun tetap memiliki hak yang sama untuk kembali berkontribusi di masyarakat.
“Tugas kita adalah memberikan ruang bagi setiap ‘penjahat’ untuk merenungkan kesalahannya. Dalam perkembangan hukum pidana modern, fokusnya bukan lagi pada masa lalu, tetapi pada masa depan: apakah ia menyesal, bagaimana ia memulihkan keadaan, dan sejauh mana ia bertanggung jawab terhadap kerugian yang ditimbulkan,” tambahnya.
Namun, Taufan mengakui tantangan besar yang dihadapi para mantan napi adalah stigma negatif masyarakat. Padahal, menurutnya, negara sudah menyediakan fasilitas berupa lembaga pemasyarakatan (lapas) yang berfungsi sebagai tempat pembinaan dan terapi kepribadian.
“Orang yang keluar dari lapas seharusnya dipandang sebagai pribadi yang sudah melalui proses perbaikan diri. Tidak adil jika masih terus disudutkan,” jelasnya.
Meski demikian, Taufan mengingatkan agar aspek moral tidak diabaikan, khususnya terkait rekam jejak kasus yang pernah menjerat pejabat bersangkutan.
“Kalau mau membahas ke belakang, catatannya adalah kasus KDRT. Maka harus dipastikan bahwa yang bersangkutan sudah melaksanakan kewajiban moralnya, terutama terhadap mantan istri dan anak. Pemulihan itu penting agar publik percaya,” pungkasnya.
Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi NTB, Irnadi Kusuma, menegaskan dirinya akan fokus bekerja menjalankan amanah yang baru diembannya.
“Jadi saya fokus bekerja, insyaAllah,” ujar Irnadi, Senin (21/9).
Ia menambahkan, sesuai fakta integritas yang sudah ditandatangani, dalam enam bulan ke depan seluruh pejabat yang baru dilantik akan dievaluasi.
“Sesuai dengan apa yang memang sudah kita tandatangani berupa fakta integritas, enam bulan ke depan kita dievaluasi,” jelasnya.
Meski sempat menuai sorotan publik, Irnadi menegaskan dirinya tetap optimis dan bersemangat melaksanakan tugas. “InsyaAllah saya tetap dengan semangat,” pungkasnya.












