Kuasa Hukum Desak Kemendiktisaintek Tunda Pemilihan dan Audit Administrasi Unram
Aroma politik kampus di Universitas Mataram (Unram) makin terasa menyengat. Menjelang pemilihan rektor, nama Prof. Hamsu Kadriyan, guru besar Fakultas Kedokteran yang disebut-sebut sebagai kandidat terkuat calon Rektor Unram, mendadak terseret dalam sanksi etik misterius. Kuasa hukumnya menyebut, langkah itu bukan sekadar persoalan administratif, melainkan indikasi upaya sistematis untuk menjegal Prof. Hamsu dari gelanggang perebutan kursi orang nomor satu di kampus hijau tersebut.
SUMBAWAPOST.com, Mataram-Menjelang pemilihan Rektor Universitas Mataram (Unram), situasi kampus memanas. Nama Prof. Hamsu Kadriyan, guru besar Fakultas Kedokteran yang disebut-sebut sebagai salah satu kandidat terkuat calon rektor, mendadak terseret dalam kasus sanksi etik.
Padahal, Prof. Hamsu mengaku tidak pernah melakukan pelanggaran etik sebagaimana yang dituduhkan.
Kuasa hukumnya, Dr. Ainuddin, menilai sanksi etik tersebut sebagai upaya sistematis untuk menjegal langkah Prof. Hamsu menuju kursi rektor.
“Kami melihat ada indikasi upaya penjegalan oleh rektor terhadap Prof. Hamsu. Rektor sudah keluar dari koridor hukum administrasi yang seharusnya dijalankan dengan baik dan melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik,” ujar Ainuddin, didampingi Michael Ansori dan Aditiya Saputra, Kamis (16/10).
Menurut Ainuddin, tindakan rektor tersebut bertentangan dengan prinsip akuntabilitas, transparansi, kepastian hukum, dan nondiskriminasi yang wajib dijunjung tinggi dalam tata kelola universitas. Ia bahkan menyebut ada tekanan langsung yang diterima Prof. Hamsu agar tidak mencalonkan diri.
“Rektor beberapa kali menelpon dan memanggil langsung Prof. Hamsu, menyampaikan secara pribadi agar tidak maju dalam pemilihan. Padahal mencalonkan diri adalah hak setiap dosen, hal yang lumrah dalam kompetisi akademik,” katanya.
Persoalan mencuat ketika nama Prof. Hamsu tidak tercantum dalam daftar anggota senat universitas yang dilantik pada 7 Oktober 2025. Padahal, ia merupakan satu-satunya guru besar Fakultas Kedokteran yang telah resmi diusulkan oleh dekan untuk menjadi anggota senat.
“Tanpa ada berita acara penolakan atau pemberitahuan administratif, tiba-tiba nama klien kami hilang dari daftar senat. Ironisnya, sebelum pelantikan, Prof. Hamsu ditelepon dan diberitahu bahwa ia punya putusan etik. Putusan itu ternyata ditandatangani 3 Oktober 2025 dan baru diberikan lewat satpam pada Rabu (15/10) pagi,”ungkap Ainuddin.
Tim kuasa hukum menilai langkah tersebut sebagai bagian dari skenario untuk menutup peluang Prof. Hamsu mengikuti proses pencalonan rektor.
“Dari informasi yang kami terima, pemilihan rektor direncanakan pada 27 Oktober dan ditutup akhir bulan. Artinya, tenggat keberatan terhadap SK etik ini dibuat sedemikian rupa agar Prof. Hamsu tidak sempat membela diri,” katanya.
Lebih lanjut, Ainuddin mengungkapkan pernyataan rektor yang dinilai tidak pantas ketika pihaknya meminta salinan SK etik.
“Ketika kami minta salinan SK sanksi etik, rektor menjawab singkat: ‘Hanya saya dan Tuhan yang tahu’. Pernyataan ini semakin memperkuat dugaan bahwa ada proses tidak transparan di balik penerbitan sanksi tersebut,” ujarnya.
Kuasa hukum juga mempertanyakan dasar hukum penerbitan SK etik itu.
“SK ini ditandatangani oleh Prof. Husni (mantan rektor Unram), padahal Prof. Hamsu hanya menandatangani berkas DUPAK (Daftar Usul Penetapan Angka Kredit) untuk keperluan jabatan fungsional. Prof. Husni ini tidak pernah diperiksa, tidak ada proses etik yang dijalani. Kami menilai ini diskriminatif,” tegasnya.
Selain itu, Satuan Pengawas Internal (SPI) disebut turut keliru dalam penanganan kasus ini dengan mencantumkan pasal pidana 263 KUHP tentang pemalsuan dokumen dalam surat panggilan pemeriksaan.
“Ini sangat keliru. Masalah ini murni administratif, bukan pidana. Pendekatan seperti itu tidak semestinya dilakukan di lingkungan akademik,” jelas Ainuddin.
Menyikapi persoalan tersebut, pihak Prof. Hamsu telah melayangkan surat keberatan kepada rektorat pada 10 dan 13 Oktober, serta meminta salinan SK sanksi etik dan SK senat yang belum juga diberikan. Mereka juga telah mengadu ke Ombudsman RI dan mendesak Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) untuk melakukan audit kepatuhan administrasi di Unram.
“Kami menolak segala bentuk ketidakadilan. Kami menuntut asas keadilan, transparansi, dan kepastian hukum ditegakkan. Jangan sampai hak konstitusional Prof. Hamsu sebagai warga akademik dibungkam hanya karena politik kampus,” pungkas Ainuddin.












