Isu tambang rakyat di NTB kembali menggemparkan publik. Dalam diskusi bertajuk ‘Bom Waktu Tambang Rakyat’, AMSI, WALHI dan Praktisi Hukum NTB membongkar dugaan keterlibatan aparat kepolisian di balik penerbitan izin pertambangan rakyat yang dinilai rawan konflik dan merusak lingkungan.
SUMBAWAPOST.com, Mataram- Isu tambang rakyat kembali memantik perdebatan hangat di Nusa Tenggara Barat. Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) NTB bersama Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) NTB menggelar diskusi publik bertajuk ‘Bom Waktu Tambang Rakyat-Lubang Neraka di Tanah Leluhur’, di Kedai Inges, Kota Mataram, Sabtu (4/10/2025).
Izin Pertambangan Rakyat (IPR) kini menjadi sorotan publik, terutama setelah munculnya dugaan keterlibatan aparat kepolisian dalam pengelolaan koperasi tambang rakyat. Banyak pihak menilai, praktik semacam ini berpotensi menabrak prinsip transparansi dan tata kelola pertambangan yang baik.
Ketua AMSI NTB, Hans Bahanan, menilai bahwa IPR seharusnya tidak hanya dilihat dari sisi tata kelola, produksi, dan pemasaran, tetapi juga dari aspek pasca tambang yang kerap diabaikan.
“Dari sisi jurnalis, kami hanya concern pada pasca tambang, bagaimana aktivitas tambang ini tidak menyebabkan kerusakan dan pencemaran lingkungan akibat bahan kimia. Diskusi ini bukan soal setuju atau tidak, tapi soal bagaimana masa depan lingkungan kita tetap terjaga,” ujar Hans, yang akrab disapa Han.
Ia menegaskan, kerusakan lingkungan dan pencemaran akibat bahan kimia merupakan potensi nyata jika pasca tambang tidak dikelola dengan baik.
Senada dengan Hans, praktisi hukum dan pengacara muda Yan Mangandar Putra mengingatkan bahwa pertambangan rakyat sering kali membawa dampak sosial dan ekologis yang tidak sebanding dengan keuntungan ekonominya.
“Alasan penerbitan IPR untuk meningkatkan ekonomi masyarakat sangat kecil dampaknya. Tidak ada bukti masyarakat lingkar tambang menjadi kaya atau hidup mapan. Lihat saja di Sumbawa Barat, di sekitar tambang PT Amman Mineral, kondisi ekonomi warga tetap sama,” tegas Yan.
Yan juga menyoroti dugaan keikutsertaan aparat kepolisian dalam proses penerbitan izin maupun pendataan koperasi tambang. Ia bahkan meminta Kapolda NTB Irjen Pol Hari Gunawan untuk lebih fokus pada penanganan kasus besar di internal kepolisian.
“Ada apa Kapolda NTB ikut cawe-cawe dalam IPR? Fokus saja dengan kasus di NTB, apalagi ada dua anggota internalnya yang tewas. Reformasi kepolisian harus segera dilakukan, jangan ikut terlibat dalam IPR ini,” ujarnya menegaskan.
Sementara itu, Eksekutif Daerah WALHI NTB, Amrie Nuryadin, menilai bahwa daya rusak pertambangan sangat tinggi dan hampir selalu meninggalkan jejak kehancuran lingkungan.
“Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi pasti merusak alam. Pemberian izin ke koperasi tambang rakyat seharusnya memastikan tidak menyentuh lahan produktif. Inilah alasan WALHI menolak IPR, karena potensi kerusakannya sangat besar,” ungkap Amrie.
Amrie menjelaskan, WALHI mengusung tiga isu utama yakni moratorium tambang, evaluasi izin pertambangan, dan penegakan hukum terhadap penambangan ilegal.
Ia juga menegaskan, anggapan bahwa tambang rakyat bisa menggerek ekonomi masyarakat tidak pernah terbukti.
“Tidak pernah terbukti. Ambil contoh PT NTT yang kini menjadi PT Amman, apakah membawa dampak ekonomi besar? Nyatanya tidak. Yang tersisa hanya lubang-lubang tambang pasca kegiatan,” katanya.
Amrie juga mempertanyakan alasan aparat kepolisian ikut terlibat dalam urusan tambang rakyat.
“Apa korelasinya polisi dengan aktivitas pertambangan? Ini menjadi pertanyaan besar bagi kami,” tambahnya.
Lebih jauh, Amrie mengungkapkan bahwa kondisi hutan NTB saat ini sudah rusak hingga 60 persen, baik akibat ilegal logging maupun aktivitas pertambangan liar.
“Data WALHI mencatat 60 persen hutan kita rusak. Dampaknya luar biasa terhadap mata air dan lingkungan hidup. Jika tambang rakyat terus dibiarkan tanpa pengawasan ketat, kerusakan ekologis akan makin parah,” tandasnya.