SUMBAWAPOST.com, Mataram –
Penyitaan lahan seluas 65 hektare milik Pemerintah Provinsi NTB di Gili Trawangan oleh Kejaksaan Tinggi NTB dalam pemberitaan pada selasa 5 Agustus 2025 menjadi alarm keras bagi tata kelola aset daerah. Kawasan strategis yang berdiri di jantung pariwisata dunia itu selama bertahun-tahun dikelola oleh pihak swasta, namun hanya menyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD) Rp22,5 juta per tahun.
Ironisnya, di atas lahan itu berdiri puluhan hotel, restoran, dan usaha wisata dengan omzet triliunan rupiah per tahun. Kontrak pengelolaan selama 70 tahun dengan PT Gili Trawangan Indah (GTI) tak kunjung dievaluasi, sementara sertifikat aset negara disebut-sebut berada di tangan pihak ketiga.
Sebelumnya, Wakil Ketua Pansus RPJMD DPRD NTB, Sambirang Ahmadi, menyebut kondisi ini sebagai ‘tragedi fiskal’. Menurutnya, kebocoran PAD bukan disebabkan minimnya potensi, tetapi akibat lemahnya pengelolaan aset daerah, banyak yang belum clear and clean, serta kurangnya keberanian untuk bertindak tegas.
“BPK bahkan menemukan sertifikat aset dipegang pihak ketiga. Ini ironi hukum sekaligus ironi pemerintahan,” ujarnya.
Tiga Gili yakni Trawangan, Meno, dan Air dikenal sebagai destinasi kelas dunia yang menghasilkan miliaran rupiah per hari. Namun kontribusinya bagi PAD disebut tidak sampai Rp5 miliar per tahun.
Menyikapi hal itu, Dr Iwan Harsono, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mataram, menilai fenomena ini mencerminkan kegagalan pengelolaan aset publik.
“Potensi fiskal sebesar ini seharusnya mampu menjadi sumber pembiayaan utama pembangunan daerah. Jika dikelola profesional, PAD NTB bisa melonjak signifikan dan kemiskinan ekstrem dapat ditekan,” tegasnya.
Dalam keterangannya, Pakar Ekonomi NTB ini mendorong Pemprov NTB menjadikan reformasi aset sebagai prioritas dalam RPJMD 2025–2029 yang sedang dibahas dan dijadwalkan disahkan pada 11 Agustus.
Ia menawarkan tiga agenda besar:
1. Audit Total dan Publikasi Aset Strategis. Seluruh aset daerah di kawasan pariwisata, pusat kota, dan area investasi harus diaudit menyeluruh, didigitalkan, dan dipublikasikan untuk pengawasan publik.
2. Reformasi Lembaga Pengelola Aset. BPKAD dan OPD terkait perlu direstrukturisasi, dengan pengelolaan berbasis SDM profesional dan sistem informasi berbasis GIS yang transparan real time.
3. Revisi Kontrak dan Model Kemitraan Baru. Semua kontrak harus ditinjau ulang. Skema kerja sama baru seperti KSP, BGS, atau KPBU perlu dirancang dengan mekanisme bagi hasil yang adil dan menguntungkan daerah.
Selain persoalan PAD, Iwan juga mengingatkan risiko overtourism ( pariwisata berlebihan, adalah situasi di mana suatu tempat wisata mengalami kepadatan pengunjung yang melebihi kapasitasnya, sehingga menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan, masyarakat lokal, dan pengalaman wisatawan itu sendiri) di Gili Trawangan. Wisatawan datang dan uang beredar, namun dampak ekonominya kecil bagi warga lokal. Bahkan sebagian besar turis datang lewat jalur laut dari Bali tanpa tercatat dalam statistik resmi kunjungan wisata NTB.
“NTB harus beralih dari wisata massal ke wisata berkualitas, ramah lingkungan, dan berbasis budaya lokal. Ini tren global pasca-pandemi,” ujarnya.
Iwan Harsono menegaskan bahwa aset daerah bukan sekadar angka di neraca APBD, melainkan instrumen kesejahteraan. Pendapatan dari pengelolaan aset dapat digunakan untuk membiayai pendidikan, layanan kesehatan, bantuan sosial, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Mengutip Prof. Jamie Boex dari Urban Institute, Iwan Harsono mengingatkan ‘Daerah yang mandiri secara fiskal adalah daerah yang berdaulat secara pembangunan’
“Gili Trawangan dan aset daerah lainnya harus kembali ke pangkuan rakyat. Tidak boleh lagi dikuasai tanpa hak dan disewakan semaunya. Penyitaan ini harus menjadi titik balik reformasi aset daerah,” tegas Iwan Harsono.
Menurutnya, setiap jengkal tanah milik daerah harus dikelola secara profesional, berorientasi manfaat publik, dan berdampak langsung pada kesejahteraan warga NTB.












