SUMBAWAPOST.com, Mataram – Ketua DPW PBB dan juga Anggota DPRD NTB Nadirah Al-Habsyi, mengungkapkan keprihatinan mendalam terhadap masih maraknya kekerasan seksual dan praktik pernikahan anak di Nusa Tenggara Barat. Ia menegaskan bahwa kondisi ini adalah cermin kegagalan kolektif bangsa dalam melindungi hak-hak anak dan perempuan.
“Negara tidak boleh kalah oleh budaya dan pola pikir lama yang melegitimasi kekerasan dan eksploitasi. Kekerasan seksual adalah kejahatan serius, dan pernikahan anak adalah bentuk kekerasan struktural yang merampas masa depan generasi muda kita,” tegas Nadirah, politisi dari Partai Bulan Bintang, Kamis (30/5).
Komitmen Tegas DPRD NTB:
1. Penegakan Hukum Tanpa Pandang Bulu
DPRD mendorong aparat penegak hukum untuk bertindak tegas tanpa kompromi, termasuk bila pelaku berasal dari kalangan terpandang atau memiliki kekuasaan.
2. Perkuat Regulasi Cegah Pernikahan Anak
DPRD akan meninjau ulang Peraturan Daerah (Perda) yang ada dan menyusun regulasi baru yang memperkuat upaya pencegahan pernikahan dini. Usia minimal pernikahan yang diusulkan adalah 19 tahun, dengan pertimbangan kesehatan sebaiknya di atas 20 tahun. Namun, yang terjadi di Lombok Tengah saat ini, Perda menetapkan usia minimal pernikahan 18 tahun, yang berarti bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, batas minimal usia untuk menikah bagi pria dan wanita adalah 19 tahun.
3. Dorong Pendidikan Seks dan Gender di Sekolah
Edukasi sejak dini tentang tubuh, relasi sehat, dan kesetaraan gender dinilai penting untuk membentuk generasi yang sadar dan berdaya.
4. Aktifkan Peran Desa dan Tokoh Masyarakat
DPRD meminta pemerintah desa, tokoh agama, dan adat agar tidak lagi ‘menikahkan’ korban dengan pelaku demi menutupi aib keluarga. Praktik ini adalah bentuk pembiaran kekerasan.
“Anak-anak harus sekolah, bukan menikah. Korban harus dilindungi, bukan dikorbankan demi nama baik keluarga,” tandas Nadirah.
Hukum Berat Predator Seksual: Tak Ada Ruang Damai untuk Kejahatan Ini
Nadirah menegaskan bahwa pelaku kekerasan seksual harus dihukum seberat-beratnya, tanpa celah kompromi.
“Kekerasan seksual bukan sekadar pelanggaran moral ini kejahatan terhadap kemanusiaan. Pelaku telah merampas hak hidup korban, menghancurkan masa depan, dan menciptakan luka batin yang mendalam. Negara tak boleh lengah,” tegas Srikandi asal Dompu ini.
Mengapa Hukuman Berat Itu Perlu?
Efek Jera: Pelaku harus tahu bahwa negara tidak akan lunak terhadap pelanggaran martabat manusia.
Keadilan untuk Korban: Hukuman berat adalah bentuk pengakuan bahwa penderitaan korban nyata dan harus ditebus secara hukum.
Memutus Rantai Impunitas: Banyak pelaku lolos karena sistem hukum yang longgar dan intimidasi terhadap korban.
Lindungi Generasi Muda: Negara wajib menjauhkan anak-anak dan perempuan dari predator yang sering menyamar sebagai guru, tokoh agama, atau bahkan kerabat dekat.
Dorong Implementasi Penuh UU TPKS: Tidak Ada Damai di Luar Pengadilan
DPRD NTB mendesak agar UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dijalankan secara maksimal, termasuk hukuman tambahan seperti kebiri kimia, publikasi identitas pelaku, dan pelacakan digital.
“Tidak ada ruang damai di luar pengadilan untuk pelaku kekerasan seksual,” ujarnya tegas.
Selain itu, ia menekankan pentingnya negara membiayai pendampingan korban secara penuh, termasuk layanan psikologis, rehabilitasi, dan perlindungan saksi.
“Kami, DPRD, tidak akan diam. Tidak ada ampun untuk predator seksual. Bila negara lalai, maka kita semua ikut bersalah,” pungkas Nadirah.
Seruan Darurat: Ini Bukan Sekadar Isu Moral, Ini Krisis Kemanusiaan
DPRD NTB menyerukan kepada seluruh elemen bangsa media, tokoh agama, dunia pendidikan, keluarga, dan masyarakat luas untuk bersatu mencegah kekerasan seksual dan pernikahan anak.
“Ini persoalan darurat kemanusiaan, bukan sekadar soal moral. Bila kita diam, maka kita sedang memberi ruang bagi kekerasan untuk tumbuh,” tandasnya.












