SUMBAWAPOST.com, Mataram- Polemik di tubuh Universitas Mataram (Unram) memasuki babak baru. Setelah diganjar sanksi etik tanpa pemeriksaan, Dr. Ansar, S.Pd., M.Pd., dosen Fakultas Teknologi Pangan dan Agroindustri (Fatepa), mengaku telah menjadi korban persekusi akademik dan politisasi kampus jelang pemilihan Senat dan Rektor.
Dalam pernyataannya kepada media ini, Dr. Ansar menilai keputusan Dekan Fatepa tidak hanya cacat hukum, tetapi juga bermotif politik yang berpotensi mencederai marwah akademik dan netralitas kampus.
Ia menduga, putusan etik mendadak tanpa pemeriksaan itu muncul di saat krusial tepat menjelang tahapan pemilihan Senat dan Rektor Unram 2025.
“Saya merasa dijolimi. Ini bukan lagi soal pelanggaran etik, tetapi upaya sistematis untuk menjatuhkan saya dari kontestasi akademik. Prosesnya tidak transparan, tidak ada pemeriksaan, dan tiba-tiba keluar surat keputusan sanksi. Ini sangat politis,” ujar Dr. Ansar dengan nada kecewa, Sabtu (4/10).
Ansar menjelaskan, sebelum keputusan itu terbit, dirinya aktif dalam forum-forum akademik dan pembahasan arah kebijakan fakultas. Ia bahkan disebut-sebut sebagai salah satu calon kuat anggota Senat Universitas dari Fatepa.
Namun, hanya beberapa minggu menjelang pemilihan, muncul keputusan dekan yang menjeratnya dengan dua sanksi sekaligus satu di antaranya tergolong berat tanpa pernah dipanggil, diperiksa, atau diberi kesempatan klarifikasi.
“Ini seperti vonis sepihak. Dalam hukum, asas audi et alteram partem hak untuk didengar itu prinsip dasar. Tapi di sini, saya justru dihukum tanpa sidang etik. Ini pelanggaran serius terhadap etika akademik dan hak asasi dosen,” tegasnya.
Kuasa hukum penggugat, Irvan Hadi, S.H., juga menyoroti kejanggalan waktu penerbitan keputusan dekan yang bersamaan dengan proses politik internal kampus.
“Surat keputusan itu keluar di penghujung Juli 2025, tepat sebelum penetapan calon Senat. Ini menimbulkan tanda tanya besar. Mengapa baru sekarang, tanpa pemeriksaan, tanpa berita acara, langsung dijatuhi sanksi etik ganda? Ada aroma politik yang kental di balik keputusan tersebut,” jelas Irvan.
Menurutnya, kasus ini tidak bisa dilepaskan dari dinamika internal kampus jelang pemilihan pimpinan baru.
Ia menilai, jika keputusan semacam ini dibiarkan, maka kampus akan kehilangan independensinya sebagai lembaga ilmiah yang berasaskan kebenaran dan keadilan.
“Kampus seharusnya menjadi ruang intelektual yang bebas dari intrik kekuasaan. Tapi ketika hukum dan etika dijadikan alat kepentingan, maka integritas institusi ikut tercoreng,” ujarnya.
Irvan berharap PTUN Mataram dapat menjadi benteng terakhir keadilan bagi kalangan akademisi yang dirugikan secara administratif dan politis. Gugatan yang diajukan pihaknya bukan semata untuk membela individu, tetapi juga untuk menguji komitmen penegakan hukum tata usaha negara di lingkungan pendidikan tinggi.
Dalam gugatannya, mereka juga menyertakan sejumlah regulasi yang diduga dilanggar, mulai dari PP Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS, Permenristekdikti Nomor 45 Tahun 2017 tentang Statuta Unram, hingga Peraturan Rektor Unram Nomor 4 Tahun 2020 tentang Etika Akademik dan Kode Etik.
“Kalau kampus saja tidak taat aturan, bagaimana bisa mendidik mahasiswa agar menjunjung nilai keadilan dan hukum?,” sindirnya.
Sementara itu, Dekan Fatepa Unram, Dr. Ir. Satrijo Saloko, M.P., ketika dikonfirmasi, enggan banyak berkomentar.
Ia hanya menegaskan bahwa persoalan tersebut sudah diserahkan ke Tim Hukum dan Advokasi Unram.
“Minta ke tim hukum dan advokasi Unram ya, Mas. Kami sudah kuasakan, sekarang kami fokus pada proses akreditasi,” ujarnya singkat.
Kasus ini kini menjadi perhatian banyak kalangan akademisi Unram. Sejumlah dosen bahkan menyebut gugatan tersebut sebagai ujian besar bagi moralitas kampus, apakah Unram akan menegakkan etika akademik dengan adil, atau membiarkan politik kampus mengalahkan hukum.