SUMBAWAPOST.com, Bima – Polres Bima Polda NTB menetapkan enam mahasiswa sebagai tersangka atas dugaan perusakan mobil dinas saat aksi demonstrasi di jalur Sumbawa-Bima.
Enam tersangka itu adalah Muh Yunus (22), Erwin Setiawan (23), Firdaus (19), Aditia (19), Deden Dwi Yanto (18), dan M Alfiansyah (24), semua berasal dari Kabupaten Bima. Polisi menjerat mereka dengan Pasal 170 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 212 KUHP, yang mengancam hukuman maksimal lima tahun enam bulan penjara.
Kapolres Bima AKBP Eko Sutomo menyampaikan, mobil yang dirusak merupakan kendaraan milik Dinas Peternakan Kabupaten Bima. Saat aksi, mobil berplat merah itu dicegat massa dan kemudian dilempari batu serta dipukul hingga rusak.
Peristiwa tersebut terjadi pada 28 Mei 2025, saat aksi mahasiswa dari lima organisasi Cipayung Bima menuntut pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa (PPS). Demonstrasi awalnya di depan Bandara Sultan Muhammad Salahuddin, namun pindah ke lokasi lain karena izin yang tidak sesuai.
Korlap M. Alfiansyah memerintahkan pemblokiran jalan di dekat Desa Teke, meskipun sudah diingatkan agar tidak melakukan hal itu. Saat blokade berlangsung, mobil dinas melintas dan menjadi sasaran perusakan.
“Petugas kami langsung datang ke lokasi dan mendapati kendaraan sudah rusak berat,” kata AKBP Eko Sutomo. Sabtu (31/5) dalam keterangan yang diterima media ini.
Kasat Reskrim Polres Bima AKP Abdul Malik menambahkan, pemeriksaan masih berlangsung dan kemungkinan jumlah tersangka bertambah.
“Kami masih mengumpulkan bukti dan melakukan pemeriksaan lebih lanjut,” ujar Abdul Malik. Ia menegaskan, kasus ini terpisah dari aktivitas unjuk rasa, melainkan lebih pada tindak pidana perusakan bersama.
Sementara itu, Anggota DPRD NTB Abdul Rauf angkat bicara terkait kerusuhan dalam demonstrasi tersebut. Ia menilai anarkisme bukan karakter asli masyarakat, melainkan akibat kekecewaan terhadap lambannya respons pemerintah.
“Kerusuhan ini merupakan refleksi dari kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah yang kurang tanggap. Jika aspirasi diabaikan terus, emosi rakyat pun mudah meledak,” jelas Abdul Rauf.
Ia mencontohkan perubahan di Pantai Wane, yang dulunya dikenal keras namun kini aman berkat kepemimpinan yang bijak.
“Bukan rakyat yang bermasalah, tapi bagaimana mereka diperlakukan,” tambahnya. Rauf mengimbau pemerintah agar menerima kritik sebagai bentuk masukan, bukan ancaman.
Di sisi lain, Ketua Umum BADKO HMI Bali-Nusra Caca Handika mengecam penetapan tersangka yang dinilai tergesa-gesa dan mengancam kebebasan demokrasi. Ia menilai polisi seharusnya objektif dan berhati-hati dalam menindak massa aksi.
“Ini bisa melemahkan hak demokrasi dan kebebasan menyampaikan pendapat. Polisi jangan sampai menjadi alat intimidasi,” tegasnya.
Ia juga mendesak Kapolda NTB mencopot Kapolres Bima yang dianggap bertindak diskriminatif dan sering memprioritaskan penangkapan pendemo daripada penegakan hukum yang adil.
“Penetapan tersangka harus sesuai hukum dan tidak boleh asal,” tambahnya.
BADKO HMI menilai tindakan Polres Bima bisa merusak citra hukum dan menimbulkan ketakutan bagi masyarakat yang ingin menyampaikan aspirasi. Mereka menuntut langkah tegas Kapolda NTB demi keadilan dan penegakan hukum yang benar.
“Aksi ini adalah bagian dari perjuangan panjang untuk mewujudkan pemekaran Pulau Sumbawa,” tutup Ketua Umum BADKO HMI Bali-Nusra.












