SUMBAWAPOST.com, Bima- Krisis irigasi melanda Kecamatan Wera, Kabupaten Bima. Kepala Desa (Kades) Nanga Wera, Umar, mengungkapkan bahwa dari total tujuh bendungan di wilayahnya, tiga di antaranya rusak parah. Satu bendungan bahkan jebol, mengakibatkan sekitar 130 hektare sawah tidak lagi terairi.
“Total ada sekitar 300 hektare sawah terdampak. Bendungan jebol itu sendiri mengairi 130 hektare lahan produktif. Tapi sampai hari ini, langkah dari Pemprov NTB maupun Kabupaten Bima nol besar. Kami cek di APBD Perubahan NTB 2025, tidak ada satupun anggaran dialokasikan,” tegas Umar dengan nada kecewa saat dihubungi media ini. Selasa (30/9).
Akibat kerusakan tersebut, para petani terpaksa menggunakan pompa dengan sumur bor untuk mengairi sawah. Biaya yang mahal membuat tidak semua petani mampu menanam. Sebagian warga akhirnya beralih profesi menjadi nelayan, buruh bangunan, hingga terpaksa berutang demi bertahan hidup.
“Petani sudah kesulitan bayar pajak tahunan, ditambah beban biaya irigasi. Banyak yang akhirnya tidak tanam. Kalau ini dibiarkan, kemiskinan di Wera makin ekstrem,” ujarnya.
Umar menekankan, Pemprov NTB seharusnya segera mengalokasikan anggaran dalam APBD Perubahan (APBD-P) untuk perbaikan bendungan. “Kalau bangun baru butuh Rp3-4 miliar per bendungan. Kalau rehabilitasi cukup Rp400–800 juta, tergantung tingkat kerusakan. Yang paling parah dampaknya itu di So Ntundu, So Raju, dan Samanggia,” jelasnya.
Ia menilai kebijakan Pemprov NTB tidak sejalan dengan jargon ketahanan pangan yang kerap digaungkan pemerintah pusat. “Ini sudah delapan bulan sejak banjir besar, tapi belum ada realisasi. Sudah sekitar enam kali kita komunikasikan ke pihak provinsi, tapi hasilnya nol besar. Dana BTT itu mestinya dipakai untuk penanganan bencana, tapi bencana yang mana yang sudah ditangani?,” kritiknya.
Umar menutup pernyataannya dengan kekecewaan mendalam terhadap kepemimpinan daerah.
“Kami harap dengan orang baru di pemerintah, pelayanan bisa cepat dan tepat. Tapi ternyata salah mikir. Bicaranya meritokrasi, tapi kenyataannya pelayanan ke masyarakat lambat. Kalau ini dibiarkan, bukan hanya sawah yang hilang, tapi masa depan petani juga,”katanya.
Terpisah, sebelumnya, Anggota DPRD dari Dapil NTB VI (Bima, Kota Bima, dan Dompu), Muhamad Aminurlah atau akrab disapa Aji Maman, melontarkan kritik keras terhadap pengelolaan anggaran penanganan banjir oleh Pemerintah Provinsi NTB. Ia menilai pemerintah tidak serius menangani dampak bencana, terutama di Kabupaten Bima yang masih memprihatinkan pasca-banjir.
“Berapa pun angka yang disepakati di Banggar, itu menunjukkan ada niat dan kesadaran pemerintah untuk menganggarkan. Tapi faktanya, recovery akibat banjir kemarin tidak jelas. Sungai dangkal dibiarkan, sedimentasi dibiarkan, bendungan yang rusak juga dibiarkan. Lalu, di mana harga diri kita? Di mana hati nurani pemerintah kalau kebutuhan dasar masyarakat kecil tidak dipulihkan?” tegasnya usai Rapat Paripurna DPRD NTB, Jumat (26/9).
Aji Maman, politisi PAN tersebut menekankan bahwa tanpa perbaikan infrastruktur dasar seperti bendungan dan saluran irigasi, petani akan semakin sulit mengelola sawah.
“Bagaimana sawah bisa ditanami kalau irigasinya rusak? Hati nurani siapa yang harusnya tergerak? Itu tanggung jawab gubernur,” sindirnya.
Lebih jauh, Aji Maman juga menyoroti penggunaan Belanja Tidak Terduga (BTT) yang mencapai Rp500 miliar lebih. Menurutnya, dana tersebut seharusnya diprioritaskan untuk penanganan banjir, bukan sekadar pergeseran anggaran sepihak oleh gubernur.
“Pergeseran anggaran memang hak gubernur, kita tidak boleh ikut campur. Tapi sesuai aturan, paling lama satu bulan setelah pergeseran itu harus disampaikan ke pimpinan dewan. Sampai hari ini, kita tidak tahu apa yang digeser dari Rp500 miliar itu. Jadi, transparansinya di mana?,” ujarnya.
Ia menegaskan, fungsi pengawasan DPRD tidak boleh dilemahkan hanya karena minimnya informasi dari eksekutif. “Kalau komunikasi tidak jalan, publik pasti menilai kacau. Yang jadi korban ya masyarakat kita sendiri,” tambahnya.
Sebelumnya, kekecewaan warga Desa Nanga Wera, Kecamatan Wera, Kabupaten Bima kembali memuncak. Mereka melakukan blokade jalan di Dusun Jati, lokasi terdampak banjir, sebagai bentuk protes karena bantuan yang dijanjikan pemerintah tak kunjung terealisasi.
Tokoh pemuda setempat, Ahmadi alias Uba Bimba, menegaskan warga kecewa karena rumah layak huni belum diberikan, saluran irigasi rusak, dan fasilitas umum tak kunjung diperbaiki.
“Kami sudah berbulan-bulan bertahan di lokasi banjir, tapi sampai sekarang tidak ada tindakan nyata dari pemerintah,” tegasnya.
Aksi warga sempat memicu gesekan, namun berhasil dilerai aparat kepolisian dan TNI yang berjaga di lokasi.
Tidak hanya di Bima, Aksi juga dilakukan di Kantor Gubernur NTB, Jum’at (26/9) oleh Aliansi Mahasiswa Wera Menggugat (AMWM) Mataram. Koordinator Umum AMWM, Bahtiar, menegaskan Wera adalah kecamatan penting di bagian timur NTB dengan luas wilayah 3.405,63 km², 14 desa, dan jumlah penduduk lebih dari 532 ribu jiwa. Sekitar 90 persen masyarakatnya hidup sebagai petani. Wera memiliki kekayaan alam di bidang pertanian, kelautan, hingga pariwisata yang menopang ekonomi daerah.
Namun, banjir Februari lalu menjadi bencana terbesar sepanjang sejarah Wera. Ribuan hektare sawah rusak, puluhan rumah hanyut, delapan orang meninggal dunia, dan lima orang masih hilang hingga kini. “Kejadian itu menyisakan luka mendalam bagi masyarakat Wera, tetapi sampai hari ini pemerintah provinsi belum menunjukkan langkah serius,” tegas Bahtiar.
Aksi tersebut ditemui Sekda NTB. Mengutip penyampaian Sekretaris Daerah (Sekda) NTB, kata Bahtiar bahwa menjelaskan bahwa Pemprov telah mengalokasikan anggaran melalui perubahan APBD 2025. Ada program pembangunan 9 unit rumah yang diusulkan melalui DPRD NTB dapil setempat. Alokasi sekitar Rp500 juta disiapkan untuk penanganan dampak banjir, termasuk rehabilitasi rumah warga. Namun, Sekda mengakui pekerjaan tersebut baru bisa efektif berjalan setelah pertengahan Oktober, menunggu evaluasi pemerintah pusat dan proses administrasi lebih lanjut.
“Saat ini Inspektorat Provinsi sedang melakukan pemeriksaan lapangan untuk memastikan kesesuaian antara laporan BPBD dan kondisi nyata. Kalau memang ada pekerjaan yang tidak sesuai, tentu harus ada pihak yang bertanggung jawab,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Badko HMI Bali Nusra, Caca Handika Arrakus, menilai pemerintah tidak boleh memandang penanganan pascabencana hanya sebatas rehabilitasi sederhana.
“Harus ada fase penanganan cepat, perencanaan matang, hingga pemulihan berkelanjutan. Jangan sampai masyarakat korban banjir terus menunggu tanpa kepastian,” ujar Pria Asal Wera.












