Inovasi Politik Kebijakan Pemerintah Berbasis Riset Sosial-Keagamaan
(Refleksi dan Praktik Kebijakan Pemerintah Provinsi NTB dalam Mewujudkan Pembangunan yang Berkeadilan, Religius, dan Berkelanjutan)
Oleh: Dr. H. Ahsanul Khalik- Staf Ahli Gubernur NTB Bidang Sosial Kemasyarakatan
Disampaikan dalam Studium Generale
Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama- UIN Mataram Semester Ganjil T.A. 2025/2026
1. Latar Pemikiran: Politik, Nilai, dan Ilmu
Politik dan kebijakan publik pada hakikatnya bukan sekedar soal kekuasaan, anggaran, atau administrasi. Ia adalah tanggung jawab moral: amanah untuk mewujudkan nilai-nilai kebaikan di tengah kehidupan masyarakat.
Kebijakan sejati tidak berhenti pada angka dan tabel, tetapi berakar pada hati dan nalar bangsa. Karena itu, riset sosial-keagamaan menjadi penting, ia adalah cermin nurani masyarakat, memperlihatkan wajah spiritual, kebiasaan sosial, dan nilai yang hidup di tengah rakyat.
Sebagaimana dikatakan Jürgen Habermas, agama memiliki potensi komunikatif yang menuntun ruang publik menuju makna etis. Sementara Max Weber menegaskan bahwa tindakan sosial yang bermoral hanya lahir ketika nilai dan rasionalitas berpadu dalam satu irama.
Maka, ketika pemerintah membuat kebijakan tanpa memahami nilai-nilai sosial-keagamaan masyarakatnya, kebijakan itu kehilangan jiwa. Ia mungkin berjalan, tetapi tidak menyentuh nurani.
2. NTB: Daerah Religius dan Laboratorium Sosial Indonesia
NTB adalah cermin kecil Indonesia: kaya agama, suku, dan tradisi. Di Lombok, berdiri ribuan pesantren dan madrasah; di Sumbawa, hidup komunitas multietnik dari Bugis, Jawa, Bima, Bali, dan Tionghoa; di Bayan dan Sambelia, adat dan agama menyatu dalam harmoni kehidupan.
Keberagaman ini menjadikan NTB laboratorium sosial-keagamaan, di mana nilai-nilai keislaman, kearifan lokal, dan pluralitas tumbuh berdampingan.
Karena itu, arah pembangunan di NTB kita tegakkan di atas tiga pilar besar:
1. Berkeadilan, agar setiap warga, dari gunung hingga pulau kecil, merasakan manfaat pembangunan tanpa diskriminasi.
2. Religius, agar setiap kebijakan memuliakan manusia sebagai makhluk spiritual.
3. Berkelanjutan, agar bumi NTB diwariskan kepada generasi mendatang dalam keadaan lebih baik dari hari ini.
3. Inovasi Politik dan Kebijakan Pemerintah Provinsi NTB
Dalam setiap kebijakan, kita berusaha menyeimbangkan antara evidence (data) dan wisdom (nilai) serta Dialog.
Data menunjukkan arah kebijakan; nilai memberi makna moral; sedangkan dialog membangun kepercayaan sosial (memberi legitimasi).
Berangkat dari prinsip itu, Pemerintah Provinsi NTB menempuh sejumlah inovasi kebijakan berbasis riset sosial-keagamaan yang berakar pada inklusi, harmoni, dan spiritualitas masyarakat.
a. Penguatan Moderasi Beragama dan Inklusi Sosial
Kami menggandeng Kanwil Kemenag, FKUB, tokoh agama, pesantren, dan perguruan tinggi untuk memperkuat moderasi beragama. Melalui riset sosial-keagamaan, kami petakan kondisi masyarakat, persepsi keagamaan, dan potensi gesekan sosial. Hasilnya lahir program seperti Desa Harmoni, Kampung Moderasi, dan Pesantren Damai, ruang hidup di mana toleransi, gotong royong, dan nilai Islam rahmatan lil ‘alamin tumbuh dari bawah, bukan dipaksakan dari atas.
b. Kebijakan Daerah yang Inklusif Beragama
Kami memastikan setiap kebijakan daerah memberi ruang bagi partisipasi lintas iman. Contohnya, kebijakan pembangunan rumah ibadah dilakukan dengan prinsip musyawarah, kesetaraan, dan partisipasi semua pihak. Peringatan hari besar lintas agama disinergikan sebagai momentum kebersamaan sosial, bukan sekedar seremoni. NTB telah menjadi daerah dengan Indeks Kerukunan Umat Beragama di atas rata-rata nasional, menandakan keberhasilan dalam membangun kepercayaan antaragama.
c. Pembangunan Berbasis Kearifan Lokal dan Spiritualitas Alam
Kami juga memperluas konsep pembangunan berkelanjutan ke dalam kerangka spiritual. Program NTB Hijau, dan Eco-Pesantren bukan hanya isu lingkungan, tetapi perwujudan iman ekologis, sebagaimana firman Allah:
“Janganlah kamu membuat kerusakan di bumi setelah Allah memperbaikinya.” (QS. Al-A’raf: 56). Nilai religius mengajarkan bahwa menjaga alam adalah ibadah, dan kebijakan hijau adalah kebijakan yang beradab.
d. Reformasi Birokrasi dengan Integritas Spiritual
Kami membangun pemerintahan digital yang tidak kehilangan moralitasnya.
Program NTB Satu Data, keterbukaan anggaran, dan digitalisasi layanan publik kami tempatkan di bawah nilai amanah dan transparansi.
‘Transparansi adalah bentuk baru dari amanah.’ Birokrasi bukan hanya harus cerdas, tetapi juga beriman, karena kecerdasan tanpa iman hanya melahirkan efisiensi tanpa nurani.
4. Kolaborasi Riset dan Kebijakan: Jembatan Pemerintah dan Akademisi
Pemerintah tidak bisa berjalan sendiri.
Kebijakan tanpa riset adalah arah tanpa peta, dan riset tanpa kebijakan adalah cahaya tanpa jalan.
Karena itu, kami mendorong lahirnya kolaborasi antara Pemprov NTB, BRIDA, BRIN, dan UIN Mataram untuk mengembangkan riset sosial-keagamaan yang aplikatif. Kami ingin NTB menjadi ‘laboratorium nasional inovasi kebijakan berbasis nilai.’
Contohnya, riset UIN Mataram tentang persepsi generasi muda terhadap moderasi beragama telah kami gunakan untuk merancang strategi komunikasi publik yang lebih persuasif dan humanis.
Inilah bukti nyata bahwa ilmu di kampus dapat hidup di birokrasi dan birokrasi dapat bersujud kepada nilai-nilai ilmu.
5. Nilai-Nilai Keagamaan Sebagai Kompas Pembangunan
Di tengah dunia yang serba digital, cepat, dan kompetitif, kita berisiko kehilangan arah moral. Teknologi memang memudahkan hidup, namun tanpa kompas etis, ia berpotensi mengeringkan hati. Oleh karena itu setiap kebijakan publik harus berpijak pada nilai-nilai agama yang universal, bukan sebagai instrumentalisasi simbolik, melainkan sebagai sumber inspirasi etis yang konkret dalam praktik pemerintahan.
– Dalam tradisi Islam, misalnya, terdapat penekanan kuat pada keadilan, amanah, dan maslahat, prinsip-prinsip yang ketika diterjemahkan ke ranah publik menuntun kita pada kebijakan yang berpihak pada pemerataan dan kesejahteraan umum. Kebijakan sosial yang adil, distribusi sumber daya yang bertanggung jawab, atau perlindungan bagi kelompok rentan adalah wujud nyata dari amanah yang dijalankan negara.
– Dalam warisan Kristen, nilai kasih dan pelayanan mengingatkan kita bahwa negara hendaknya berfungsi sebagai pelayan rakyat; setiap program publik hendaknya dirancang bukan untuk mengagungkan aparatur, melainkan untuk mengangkat martabat manusia. Orientasi pelayanan ini mendorong prioritas anggaran pada pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial.
– Ajaran Hindu menempatkan konsep dharma, kewajiban moral dan keseimbangan, sebagai pijakan bagi tata kelola yang tidak hanya mengejar hasil material, tetapi juga menjaga keterimbangan antara kebutuhan manusia dan kelestarian alam. Prinsip itu relevan dalam perumusan kebijakan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan: pembangunan yang tidak menjarah sumber daya, melainkan merawatnya untuk generasi berikut.
– Sementara itu tradisi Buddha mengajarkan karuṇā atau belas kasih; ini mengarahkan kebijakan publik untuk mereduksi penderitaan sosial, melalui sistem perlindungan sosial, penanganan kemiskinan struktural, dan kebijakan yang meminimalkan dampak negatif pembangunan terhadap kehidupan manusia.
Walau berasal dari rona teologis yang berbeda, nilai-nilai ini bersatu dalam satu tuntutan moral: tata kelola publik harus beradab dan berpijak pada keadilan, penuh tanggung jawab, melayani dengan kasih, dan menjaga keseimbangan kehidupan. Ketika kebijakan menyerap dan menerapkan ruh-ruh nilai tersebut, bukan saja efektivitas teknis yang meningkat, tetapi legitimasi moral dan kepercayaan publik pun terbangun. Pemerintahan yang demikian adalah pemerintahan yang tidak sekadar cakap mengelola, tetapi juga berjiwa sebuah pemerintahan beradab, yang menempatkan manusia pada pusat setiap kebijakan.
6. Tantangan dan Harapan
Kita menyadari bahwa membangun kebijakan berbasis riset sosial-keagamaan tidaklah mudah.
Masih ada tantangan yang harus dijawab:
– Minimnya riset terapan yang langsung menyentuh perumusan kebijakan.
– Sekat antara birokrasi dan dunia akademik.
– Politisasi agama di ruang publik.
– Kelemahan literasi digital yang berpotensi menumbuhkan misinformasi nilai.
Namun di balik semua tantangan itu, NTB telah membuktikan bahwa kolaborasi bisa membuka jalan. Kami membutuhkan birokrat yang berpikir ilmiah dan akademisi yang berpikir kebijakan. Kami ingin membangun pemerintahan yang bukan hanya membangun jalan dan gedung, tetapi membangun nilai, karakter, dan keadilan.
7. Refleksi dan Penutup: Dari NTB untuk Indonesia Mendunia
Saudara-saudara, Inovasi kebijakan berbasis riset sosial-keagamaan adalah jalan tengah antara iman dan ilmu, antara spiritualitas dan rasionalitas, antara pembangunan dan keberkahan.
Jika NTB mampu menapaki jalan ini dengan konsisten, maka kita tidak hanya membangun provinsi yang maju, tetapi juga menjadi contoh nasional tentang bagaimana pemerintahan dapat beriman tanpa kehilangan nalar, dan berilmu tanpa kehilangan adab.
Sebagaimana firman Allah SWT: ‘Dan Kami jadikan kamu umat pertengahan agar kamu menjadi saksi atas manusia.’ (QS. Al-Baqarah: 143)
Kebijakan yang adil adalah kebijakan yang menempatkan manusia di tengah, tidak ekstrem pada kekuasaan, tidak pula abai pada nilai.
Mari kita jadikan NTB bukan sekedar singkatan dari ‘Nusa Tenggara Barat’, tetapi maknanya menjadi ‘Nusa Tercinta yang Beradab’ – tempat iman, ilmu, dan kebijakan berpadu menghadirkan rahmat bagi semesta.












