Polemik penggunaan dana Belanja Tidak Terduga (BTT) Pemprov NTB makin panas. Eks anggota DPRD NTB, TGH Najamuddin Mustafa, menuding pemerintah daerah menjadikan BTT sebagai ajang akumulasi pelanggaran. Ia bahkan mengungkap, sedikitnya ada empat aturan sekaligus yang diduga dilanggar dalam pengelolaan anggaran darurat tersebut.
SUMBAWAPOST.com, Mataram- Polemik penggunaan Belanja Tidak Terduga (BTT) di NTB kian panas setelah Kepala BPKAD NTB, Nursalim, menyebut BTT bisa digeser untuk membayar utang dan menegaskan bahwa BTT bukan hantu yang tidak bisa digeser.
Pernyataan itu langsung dibantah keras oleh eks Anggota DPRD NTB, TGH Najamuddin Mustafa, yang menyebut bahwa pernyataan tersebut berpotensi menyesatkan masyarakat dan justru menabrak aturan yang berlaku.
“Iya, ini makanya yang penting kita luruskan supaya masyarakat tidak menjadi sesat. Kita harus bicara berdasarkan aturan atau undang-undang. Kalau bicara BTT, maka ada PP 12 Tahun 2019 Pasal 55 ayat (1) huruf c yang dipertegas lagi oleh ayat (4). Itu jelas mengatakan belanja BTT hanya bisa dilakukan dalam situasi darurat dan kondisi mendesak yang tidak bisa diprediksi sebelumnya, artinya harus secara utuh membacanya, tidak sepoton-sepotong memahami,”tegasnya, Kamis (2/10/2025).
Menurutnya, membayar utang bukanlah situasi darurat apalagi tidak terprediksi. “Membayar utang itu jelas direncanakan, begitu juga program desa berdaya atau visi-misi gubernur lainnya. Itu semua bagian dari rencana, sehingga tidak masuk kategori BTT,” katanya.
TGH Najamuddin juga menilai alasan Nursalim yang menyebut utang sebagai sesuatu yang mendesak adalah keliru. “Itu alibi. Kalau kita bicara darurat, ya darurat itu sesuatu yang benar-benar tidak bisa diprediksi sebelumnya, misalnya bencana alam. Bukan bayar utang,” tegasnya lagi.
Lebih jauh, ia mengungkapkan bahwa penggunaan BTT oleh Pemprov NTB menabrak banyak aturan sekaligus. Pertama, PP 12/2019 Pasal 55 dan Pasal 161, yang menyebut pergeseran anggaran hanya bisa dilakukan jika realisasi semester sudah terlihat.
“Sementara ini realisasi APBD semester pertama saja belum ada, tapi kok sudah ada pergeseran,” kritiknya.
Kedua, langkah Pemprov juga disebut melanggar Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2025, Permendagri No. 77 Tahun 2020 tentang mekanisme tata kelola keuangan daerah, serta Pergub NTB No. 24 Tahun 2024 Pasal 13.
“Kalau semua dianggap mendesak, maka semua bisa pakai BTT. Utang mendesak, makan mendesak, minum mendesak. Itu menyalahi makna darurat dalam aturan. Kata kuncinya tidak bisa diprediksi sebelumnya. Nah, kalau sudah direncanakan, jelas tidak boleh pakai BTT,” ungkapnya.
Ia memberi contoh konkret. “Kalau jembatan delapan tiangnya rusak dua, lalu tiba-tiba gempa dan sisanya ambruk, itu boleh pakai BTT karena tidak bisa diprediksi. Tapi kalau sudah ada kerusakan sejak awal dan bisa diprediksi, ya tidak boleh. Begitu logikanya,”ujarnya.
Dengan alasan tersebut, TGH Najamuddin menyimpulkan bahwa penggunaan BTT untuk membayar utang oleh Pemprov NTB adalah bentuk penyalahgunaan kewenangan.
“Empat aturan dilanggar sekaligus. Jadi jelas ini bukan sekadar keliru, tapi penyalahgunaan. Jangan sampai aturan dipelintir. BTT itu selektif, sangat spesialis, dan dilindungi PP 12/2019 Pasal 55. Kalau ini dipaksakan, itu sesat,” pungkasnya.