SUMBAWAPost, Mataram – Sikapi terjadinya kekerasan terhadap santri di Pondok Pesantren, Kanwil Kemenag NTB mengadakan Rapat Koordinasi (Rakor) di ruang rapat utama Kanwil Kemenag NTB pada hari ini, Kamis 11 Juli 2024 kemarin.
Rapat tersebut dalam rangka membahas langkah-langkah penanganan tindak kekerasan di pondok pesantren.
Rakor ini dihadiri oleh berbagai pihak terkait, termasuk perwakilan Kapolda NTB, MUI NTB, Ombudsman NTB, Ketua Tim Satuan Anti Kekerasan Terhadap Anak (SANTAI), Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Provinsi NTB, Pusat Pengkajian dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P3P2KB), media massa lokal, Kasi Pontren se-NTB, Kabid Madrasah, Kabid Pakis, Kabag TU, dan Ketua Tim bidang PAKIS.
Kepala Kanwil Kemenag NTB, H. Zamroni Aziz, S.Hi., M.H., menyampaikan apresiasi atas perhatian dan masukan dari berbagai pihak terhadap upaya pencegahan dan penanganan tindak kekerasan di pondok pesantren.
“Ini menunjukkan bahwa kita semua memiliki tanggung jawab yang sama untuk memajukan dan memperbaiki pondok pesantren,” ungkapnya.
Kanwil Kemenag NTB berkomitmen untuk terus berupaya meningkatkan kualitas pendidikan di pondok pesantren.
“Dan memastikan bahwa setiap santri merasa aman dan nyaman dalam belajar dan menimba ilmu,”tegasnya.
Selain itu, untuk memaksimalkan hal tersebut, sebagai langkah antisipasi terjadinya kekerasan atau pelanggaran lainnya di lingkungan pondok pesantren (ponpes), Kementerian Agama (Kemenag) NTB akan membuat tim satuan tugas (satgas).
“Satgas ini nantinya akan dibentuk di semua ponpes yang ada di NTB,”katanya.
Kata Zamroni Azis, bahwa satgas yang dibentuk nantinya akan menangani semua persoalan yang ada di ponpes. Anggota dari satgas tersebut dari para keluarga besar ponpes.
“Ponpes itu punya otoritas sendiri. Karena itu yayasan dan itu lembaga pendidikan yang memang hak prerogatif mengelola ketua yayasan dan pendiri. Kami Kementerian Agama ini hanya bagaimana proses belajar mengajar dan kurikulum,” katanya.
Ia mengatakan, ponpes memiliki kebijakan sendiri yang tidak bisa diintervensi bahkan oleh Kementerian Agama. Misalnya adanya ponpes yang tidak menerima dana BOS.
“Ini banyak di Pulau Jawa. Ini tidak bisa kita paksakan. Kalau harus menerima karena mereka punya kebijakan sendiri-sendiri,” terangnya.
Sebelumnya, di Lombok Barat NTB dihebohkan dengan meninggalnya salah seorang santriwati Pondok Pesantren Al Aziziyah, Kapek, Gunungsari Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), diduga menjadi koban perundungan. Santriwati bernama Nurul Izatih, 14 tahun, asal Ende, Nusa Tenggara Timur itu menghembuskan nafas terakhir setelah 16 hari koma di ruang ICU RSUD R Soedjono, Selong, Lombok Timur.
Terkait peristiwa tersebut, hinggga saat ini pihak kepolisian Polresta Mataram sudah memeriksa 24 saksi baik itu pihak pondok, teman korban dan santri.
Atas kematian Nurul, pihak Pondok Pesantren Al Aziziyah menyatakan bela sungkawa yang mendalam.
Melalui kuasa hukumnya Herman Saputra, pihak Ponpes akan mendukung langkah hukum yang ditempuh keluarga.
“Pihak Ponpes juga sangat berkepentingan untuk mengetahui kejelasan fakta-fakta yang dialami santriwati hingga meninggal,” kata Herman.












