SUMBAWAPOST.com, Lombok Barat-Proyek Strategis Nasional (PSN) Bendungan Meninting di Kecamatan Gunungsari, Kabupaten Lombok Barat, kembali menjadi sorotan tajam publik. Bendungan senilai Rp1,4 triliun yang digarap Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Nusa Tenggara I ini berdiri di kawasan rawan gempa, memicu kekhawatiran serius masyarakat Lombok Barat dan Kota Mataram.
Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan. Tahun 2022 lalu, warga Dusun Buwuh, Desa Mambalan, Lombok Barat, sempat dilanda banjir bandang misterius setinggi 1,5 meter padahal saat itu tidak turun hujan. Peristiwa ini diduga akibat jebolnya tanggul atau bendung pengalih sementara proyek.
“Dulu saja tahun 2022 di Dusun Buwuh pernah terjadi banjir bandang tanpa hujan. Diduga akibat jebolnya tanggul saat pembangunan. Itu pun sudah cukup jadi peringatan alam, padahal belum ada gempa. Trauma dan kekhawatiran warga hingga kini belum hilang,” ungkap salah seorang warga yang tidak mau disebutkan namanya.
Kondisi ini semakin menakutkan bila dikaitkan dengan analisis ahli BMKG. NTB berada di zona rawan Flores Back Arc Thrust atau Flores Megathrust, sesar naik yang mampu memicu gempa besar dangkal di laut. Skenario terburuk, gempa itu berpotensi melahirkan tsunami hingga setinggi 26 meter, terutama jika sumber gempanya berasal dari Megathrust Sumba.
Selain persoalan lokasi yang rawan bencana, proyek Bendungan Meninting juga bermasalah dalam pengerjaannya. Target penyelesaian semula Juni 2024, molor hingga Desember 2024, namun sampai Januari 2025 tetap belum rampung. Tak hanya itu, muncul dugaan penyimpangan spesifikasi teknis dan kualitas konstruksi.
Aliansi Masyarakat Sipil NTB pun bergerak. Mereka menyiapkan gugatan hukum melalui kuasa hukum Muhamad Arif, S.H.
“Bendungan Meninting dibangun di kawasan rawan gempa Megathrust. Proyek ini molor dari jadwal, ada dugaan kuat kelalaian perencanaan, serta penyimpangan spesifikasi dan kualitas konstruksi. Jika terjadi gempa besar, warga bukan hanya terancam tsunami dari laut, tapi juga air bah dari gunung jika bendungan jebol,” tegas Arif. Selasa (16/9).
Menurut Arif, gugatan hukum ini bukan untuk menghambat pembangunan nasional, melainkan sebagai bentuk perlindungan warga dan pengingat bagi pemerintah.
“Langkah hukum ini jangan dilihat sebagai upaya menghalangi pembangunan. Ini soal perlindungan diri dan kesiapsiagaan menghadapi ancaman nyata Megathrust. Gempa bisa terjadi kapan saja, karena hampir tiap hari ada gempa. Pemerintah jangan hanya sibuk membangun fisik, tapi juga wajib menjamin keselamatan masyarakat sekitar PSN,” tegas Arif yang dikenal aktif membela kepentingan publik.
Terpisah, Humas Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Nusa Tenggara I Yemi Yordan yang dihubungi media ini hingga berita ini diterbitkan enggang merespon.












