SUMBAWAPOST.com, Mataram – Sidang lanjutan gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang diajukan aktivis M. Fihiruddin terhadap DPRD Nusa Tenggara Barat kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Mataram pada Selasa (29/7/2025). Agenda sidang kali ini adalah mendengarkan keterangan ahli dari pihak penggugat.
Tim kuasa hukum Fihiruddin yang diketuai M. Ikhwan, S.H., M.H. menghadirkan pakar hukum dari Fakultas Hukum Universitas Mataram, Dr. Syamsul Hadi, S.H., M.H., untuk memberikan pandangan terkait legal standing gugatan PMH yang dilayangkan kliennya.
Dalam kesaksiannya di hadapan majelis hakim, Dr. Syamsul Hadi menjelaskan bahwa dalam sistem hukum Indonesia terdapat dua mekanisme untuk menuntut ganti rugi, yakni praperadilan dan gugatan PMH.
“Untuk kasus yang tidak menyentuh pokok perkara, misalnya penahanan yang tidak sah, mekanismenya melalui praperadilan sebagaimana diatur Pasal 77 KUHAP. Sedangkan jika sudah menyentuh substansi perkara dan menimbulkan kerugian, mekanismenya adalah gugatan PMH berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata,” jelas Syamsul.
Ia menambahkan, apabila kerugian yang dialami penggugat terbukti diakibatkan tindakan melawan hukum dari pihak tergugat, maka tanggung jawab perdata dapat dimintakan. Selain itu, bagi seseorang yang telah dilaporkan namun akhirnya dinyatakan tidak bersalah, negara wajib memulihkan nama baiknya melalui rehabilitasi.
“Rehabilitasi adalah hak untuk memulihkan harkat dan martabat seseorang yang telah melalui proses hukum namun dinyatakan tidak terbukti bersalah. Hal ini penting karena status hukum seseorang berpengaruh terhadap integritas dan reputasinya di masyarakat,” terangnya.
Dalam konteks pidana, Syamsul juga menyoroti soal delik aduan, seperti kasus pencemaran nama baik. Menurutnya, laporan hanya bisa dibuat oleh individu yang merasa nama baiknya dicemarkan, bukan oleh lembaga.
“Lembaga tidak memiliki kedudukan hukum untuk melaporkan pencemaran nama baik secara kolektif. Selain itu, laporan harus diajukan dengan itikad baik. Jika laporan diajukan tanpa dasar yang jelas atau bermotif lain di luar kepentingan hukum, pelapor bisa dimintai pertanggungjawaban,” tegasnya.
Ia menjelaskan bahwa ukuran itikad baik bukan bersifat subjektif, tetapi dapat diuji melalui mekanisme hukum. Dalam konteks lembaga legislatif, keberadaan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) di DPR merupakan saluran yang tepat sebelum membawa persoalan ke ranah pidana.
Usai persidangan, Ketua Tim Kuasa Hukum Fihiruddin, M. Ikhwan, menilai keterangan ahli semakin memperkuat posisi kliennya.
“Dari keterangan saksi fakta yang sudah kami hadirkan dan diperkuat dengan keterangan ahli hari ini, terlihat jelas bahwa klien kami mengalami kerugian besar, baik materiil maupun immateriil. Unsur-unsur Perbuatan Melawan Hukum dalam perkara ini semakin terang,” ujarnya.
Ikhwan optimis gugatan yang mereka ajukan akan dikabulkan oleh majelis hakim. Ia menyebut perkara ini bisa menjadi preseden penting dalam penegakan keadilan dan akuntabilitas lembaga publik.
Sebelumnya, Fihiruddin sempat ditahan oleh Polda NTB terkait dugaan pelanggaran Undang-Undang ITE. Namun, dalam proses persidangan di PN Mataram, ia dinyatakan tidak bersalah dan vonis bebas tersebut dikuatkan oleh Mahkamah Agung RI.
Atas dasar itu, ia menggugat Ketua dan sejumlah fraksi DPRD NTB atas dugaan PMH. Gugatan ini sempat dinyatakan Niet Ontvankelijke Verklaard (NO) oleh Pengadilan Tinggi NTB ketika diajukan banding, namun kini kembali dibuka dan disidangkan di PN Mataram.












