Nusa Tenggara Barat (NTB) kini berada di titik kritis. Di satu sisi, provinsi ini kaya potensi sumber daya yang bisa menjadi lumbung kehidupan bagi masyarakatnya. Di sisi lain, ancaman eksploitasi berlebihan berisiko mengubah wilayah yang subur dan produktif menjadi kuburan masa depan. Setiap kebijakan pembangunan, investasi, maupun industrialisasi harus dilihat melalui kacamata keberlanjutan, agar NTB tidak hanya menikmati hasil hari ini, tapi juga menjamin kehidupan generasi mendatang.
Oleh: Rusdiansyah (Advocate dan Legal Consultant)
Nusa Tenggara Barat (NTB) hari ini sedang berdiri di persimpangan takdir. Ia seperti seorang ibu yang tengah diuji, apakah akan tetap setia merawat anak-anaknya dengan memberi pangan dari rahim bumi yang subur, atau tergoda menjual tubuhnya untuk sesaat demi
kilauan hampa.
Sejak dahulu, NTB dikenal sebagai tanah yang melahirkan kehidupan. Dari tanahnya tumbuh jagung yang kokoh di bawah terik matahari, dari padangnya lahir sapi-sapi gemuk yang menyuplai daging ke nusantara, dari lautnya nelayan menggantungkan hidup pada ikan yang tak pernah habis diceritakan. Sawahnya adalah denyut nadi rakyat, ladangnya adalah nafas panjang bangsa.
Namun bayangan lain terus mengintai. Lubang-lubang tambang dengan janji kemakmuran singkat hadir sebagai fatamorgana. Seolah-olah memberi kehidupan, padahal sesungguhnya
hanya merenggut masa depan.
Pertanyaan itu pun menggema di setiap hati, apakah kita rela menukar nafas panjang peradaban dengan sesak nafas tambang yang berumur pendek?
Dalam kajian ekologi politik, sumber daya alam bukan hanya soal teknis eksploitasi, tetapi juga soal relasi kuasa. Robbins (2012) menegaskan, perampasan tanah rakyat kerap terjadi melalui instrumen kebijakan yang secara formal berlabel rakyat, namun secara substantif
dikuasai oleh modal.
Fenomena IPR di NTB mencerminkan hal ini. Instrumen yang seharusnya menjadi jalan kedaulatan rakyat, justru berubah wajah karena biaya pengelolaan miliaran memaksa koperasi mencari investor. Dalam istilah David Harvey (2005), inilah accumulation by dispossession yaitu akumulasi modal yang lahir dari perampasan akses masyarakat.
Apakah kita masih bisa menyebutnya tambang rakyat, ketika modal, alat, dan keuntungan dikuasai oleh investor, sementara rakyat hanya menjadi buruh kasar tanpa keterampilan? Ulrich Beck (1992) dalam Risk Society mengingatkan bahwa modernitas membawa risiko baru yang bersifat sistematis. Tambang meski berlabel rakyat menyimpan risiko buatan sungai yang tercemar bahan kimia berbahaya, sawah kehilangan air, hutan gundul, pesisir sekarat. Risiko ini tidak hanya mengancam saat ini, tetapi akan diwariskan lintas generasi.
Lebih jauh, development hazards studies menunjukkan bahwa proyek pembangunan yang gagal mempertimbangkan daya dukung lingkungan justru menciptakan bahaya yang lebih besar daripada manfaatnya. Dengan kata lain, janji kemakmuran tambang sesungguhnya
adalah ilusi yang menanam risiko jangka panjang.
Teori keadilan ekologis (Schlosberg, 2007) menegaskan bahwa keadilan tidak hanya soal distribusi keuntungan, tetapi juga distribusi risiko. Jika keuntungan tambang dinikmati segelintir pemodal, sementara rakyat NTB menanggung pencemaran air, kerusakan tanah, dan hilangnya mata pencaharian, maka yang lahir bukanlah keadilan, melainkan ketidakadilan ekologis yang nyata.
Prinsip keadilan antar-generasi (Weiss, 1990) juga mengingatkan kita bahwa bumi bukanlah warisan dari leluhur, melainkan titipan untuk anak cucu.
Menjual NTB kepada tambang berarti menggadaikan masa depan generasi mendatang dan sebuah bentuk pengkhianatan sejarah. Apakah kita tega membiarkan anak-anak kita tumbuh di atas tanah beracun, padahal Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menjamin hak atas lingkungan hidup yang baik?
Teori resource curse (kutukan sumber daya) telah lama mencatat bagaimana daerah kaya sumber daya justru terjebak dalam kemiskinan, konflik, dan kerusakan lingkungan.
NTB tidak boleh jatuh ke dalam jebakan ini. Kekuatan sejati NTB bukan pada perut bumi yang digali, tetapi pada pangan dan lautnya. Data BPS mencatat NTB sebagai penyumbang utama jagung dan sapi potong nasional, serta eksportir ikan dan rumput laut. Potensi ini jika dikelola dengan prinsip ecological modernization justru bisa menopang pembangunan berkelanjutan, mendukung program makan bergizi gratis dan memperkuat ketahanan pangan nasional.
Bayangkan bila petani NTB memasok beras dan jagung, peternak menyuplai daging, nelayan mengirim ikan segar, dan petambak mengekspor rumput laut. Itulah wajah pembangunan sejati, memperkuat kedaulatan pangan, bukan menggadaikan tanah kepada lubang tambang.
Konstitusi kita jelas dalam Pasal 33 UUD 1945 menyatakan bumi, air, dan kekayaan alam dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Kata ‘kemakmuran’ tidak bisa dipersempit hanya sebagai keuntungan investor, tetapi harus dimaknai sebagai keberlanjutan pangan, lingkungan sehat, dan martabat rakyat.
Pembangunan sejati Tidak menukar sawah dengan lubang tambang, Tidak mengganti laut dengan limbah, dan Tidak mengorbankan rakyat demi modal. Pembangunan sejati lahir dari tanah yang dirawat, laut yang dijaga, dan rakyat yang diberdayakan.
Kini NTB berada di titik krusial. Pilihannya sederhana namun menentukan, Apakah NTB akan dikenang sebagai lumbung pangan nasional yang memberi kehidupan, atau Dicatat sebagai kuburan masa depan yang ditinggalkan lubang-lubang tambang? Pilihan ini bukan sekadar soal kebijakan, melainkan soal martabat dan nurani kolektif. Generasi mendatang akan menagih jawaban apakah kita rela menjual masa depan mereka hanya demi kilauan sesaat?
Sejarah akan mencatat. Anak cucu akan bersaksi. Dan suara hati kita hari ini akan menentukan apakah NTB tetap menjadi rahim kehidupan, atau berubah menjadi pusara masa depan












