Oleh: Syamsurrizal (Penggiat Budaya dan Pegawai Di Dinas Pariwisata NTB)
Pariwisata di Nusa Tenggara Barat (NTB) menyuguhkan lebih dari sekadar panorama alam yang memesona. Di balik pantai dan pegunungan yang menawan, tersimpan kekayaan budaya yang mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat. Tradisi seperti Bau Nyale, permainan presean, serta kehidupan di desa adat Sade dan Ende bukan hanya atraksi, tetapi representasi dari nilai-nilai filosofis dan spiritual masyarakat lokal (Wibowo & Belia, 2023). Namun, di tengah derasnya arus modernisasi dan komersialisasi pariwisata, pelestarian budaya lokal menghadapi ancaman yang tidak bisa diabaikan (Komalasari & Herwangi, 2023).
Epistemologi: Menyelami Makna Budaya Lewat Pengetahuan Lokal
Pengetahuan budaya di NTB diwariskan secara lisan, melalui interaksi sosial, serta didokumentasikan dalam kajian ilmiah (Djunaid et al., 2024). Festival Bau Nyale, misalnya, bukan semata ritual menangkap cacing laut, melainkan refleksi atas legenda Putri Mandalika yang mengandung pesan pengorbanan dan persatuan. Sayangnya, banyak wisatawan yang hanya melihat permukaannya sebagai tontonan budaya, tanpa memahami makna yang lebih dalam (Ayu, 2023).
Ontologi: Budaya sebagai Fondasi Identitas
Budaya di NTB sejatinya bukan objek eksotis, melainkan bagian dari realitas hidup masyarakat (Wibawa & Budiasa, 2018). Rumah adat Sasak mencerminkan tatanan sosial dan nilai spiritual. Kain tenun bukan hanya hasil kerajinan, tapi simbol status dan peran perempuan. Ketika budaya diposisikan sebagai komoditas semata, esensinya pun mulai terkikis (Sumantri, 2019).
Aksiologi: Budaya untuk Pemberdayaan, Bukan Sekadar Konsumsi
Pariwisata berbasis budaya harus berlandaskan pada etika dan pemberdayaan masyarakat (Purbadi & Lake, 2019). Budaya lokal harus menjadi media untuk menghidupkan nilai-nilai luhur dan membuka ruang partisipasi aktif masyarakat, bukan menjadikannya sekadar dekorasi dalam paket wisata (Soedarmo et al., 2021). Desa wisata idealnya memberdayakan warga sebagai subjek aktif, bukan penonton pasif (Prasetyo et al., 2021).
Pelibatan generasi muda menjadi kunci dalam menjaga kesinambungan budaya. Mereka harus diberi ruang untuk terus menenun, mendongeng, dan mengambil peran dalam upacara adat. Tanpa itu, tradisi hanya akan tinggal sebagai dokumentasi visual tanpa kehidupan.
Tantangan Pelestarian: Antara Komodifikasi dan Krisis Pewarisan
Budaya di NTB—baik di kalangan Sasak, Samawa, maupun Mbojo—menghadapi tekanan besar akibat modernisasi. Ritual Nyongkolan, Barapan Kebo, dan seni tutur mulai kehilangan nilai spiritualnya karena diarahkan semata untuk kepentingan pariwisata (Islamy, 2019; Susanti et al., 2021). Pewarisan budaya yang dahulu dilakukan secara lisan kini tergantikan oleh budaya digital, memperlebar jarak antara generasi tua dan muda (Rahayu et al., 2023).
Secara ontologis, budaya tidak lagi dianggap sebagai bagian esensial dari jati diri. Ia berubah menjadi tontonan, kehilangan konteks sosial dan spiritualnya. Akibatnya, budaya mengalami fragmentasi dan dekontekstualisasi dalam bingkai industri pariwisata.
Dari sisi aksiologi, nilai edukatif dan moral dalam budaya perlahan tergeser oleh kepentingan ekonomi. Ketika pelestarian budaya hanya dilihat sebagai peluang pasar, keterlibatan masyarakat pun menurun, dan budaya kehilangan roh utamanya sebagai fondasi sosial (Poetra & Nurjaya, 2024; Zohdi et al., 2023).
Peran Generasi Muda: Penjaga, Pewaris, dan Inovator Budaya
Generasi muda NTB memegang peran sentral sebagai penjaga dan penerus budaya. Mereka harus memahami akar tradisi, tidak hanya dari sisi bentuk, tetapi juga nilai dan makna di baliknya (Kharisma et al., 2022). Pendidikan kontekstual dan media kreatif dapat menjadi alat penting untuk membangun narasi baru yang relevan dengan tantangan zaman (Ariffin et al., 2023).
Budaya harus dihidupi, bukan hanya ditampilkan. Generasi muda perlu menginternalisasi nilai-nilai luhur seperti gotong royong, penghormatan terhadap alam, dan harmoni sosial sebagai bagian dari jati diri. Lewat pendekatan kreatif, mereka bisa menjadi duta budaya yang memadukan kearifan lokal dengan inovasi digital.
Untuk mendukung peran ini, dibutuhkan ekosistem yang kondusif: sinergi antara lembaga pendidikan, komunitas adat, dan pelaku industri pariwisata. Pendidikan berbasis budaya dan program pelatihan kepemudaan berbasis lokal menjadi langkah konkret yang perlu diakselerasi (Orchidamoty et al., 2023).
Penutup: Jalan Filosofis Menuju Pelestarian Berkelanjutan
Pelestarian budaya bukan sekadar agenda pelengkap dalam pembangunan pariwisata. Ia adalah inti dari pembangunan manusia yang berakar pada nilai, identitas, dan kearifan. Dengan pendekatan epistemologis, ontologis, dan aksiologis, NTB dapat menjadi model pariwisata berbasis budaya yang tak hanya menarik wisatawan, tetapi juga membangun kesadaran kolektif akan pentingnya menjaga warisan leluhur.












