MANDALIKA, dengan segala kemegahan sirkuit MotoGP dan hotel bintang lima, telah menempatkan NTB di panggung dunia. Namun di balik gemerlapnya lampu dan sorak-sorai penonton internasional, muncul pertanyaan mendasar, SEBERAPA jauh pembangunan ini benar-benar menyentuh kesejahteraan masyarakat lokal? Event besar memang mendorong pertumbuhan ekonomi sesaat, tetapi bagi nelayan, petani, dan pedagang tradisional, perubahan nyata masih terasa lambat. Opini ini menelisik ketimpangan antara pertumbuhan ekonomi makro dan keberlanjutan sosial, serta menawarkan refleksi kritis terhadap arah pembangunan Mandalika yang inklusif dan berkeadilan.
Uswatun Hasanah
Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mataram
Ketua Umum PW SEMMI NTB (2022-2024)
Pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika di Lombok Tengah menjadi proyek strategis nasional dengan tujuan menjadikan Nusa Tenggara Barat (NTB) sebagai destinasi pariwisata kelas dunia. Investasi besar, termasuk sirkuit MotoGP, hotel internasional, dan akses jalan tol, diharapkan mendorong pertumbuhan ekonomi serta memperkuat struktur PDRB daerah.
Namun, setelah tiga tahun beroperasi (2021-2024), muncul pertanyaan mendasar, apakah pembangunan ini benar-benar memanusiakan manusia, atau hanya memindahkan pusat aktivitas ekonomi tanpa menyentuh kesejahteraan masyarakat lokal?
Analisis ini mencoba menilai apakah dampak ekonomi Mandalika bersifat struktural atau sementara, serta sejauh mana ketahanan sosial masyarakat pesisir tetap terjaga. Pendekatan yang digunakan meliputi:
- Analisis kuantitatif: Data sekunder PAD, PDRB sektoral, dan Tingkat Penghunian Kamar (TPK) hotel NTB (2020–2024) dari BPS dan Bappenda NTB.
- Analisis kualitatif-deskriptif: Fenomena sosial ekonomi masyarakat lokal (nelayan, petani, pedagang) yang hidup berdampingan dengan kawasan Mandalika.
Pendekatan ini dilakukan dengan prinsip triangulasi antara data ekonomi makro, indikator sosial, dan refleksi pembangunan manusia
Data BPS menunjukkan kontribusi sektor terhadap PDRB NTB (2020-2024) sebagai berikut:
1. Pertanian, Kehutanan, Perikanan: 24%
2. Pertambangan san Penggalian: 22%
3. Industri Pengolahan: 13%
4. Akomodasi dan Makanan/Minuman: 11%
5. Transportasi dan Jasa Hiburan: 9%
6. Administrasi Pemerintahan: 7%
Meski Mandalika beroperasi sejak 2021, kontribusi sektor pariwisata hanya meningkat moderat. PAD NTB naik dari Rp 2,5 triliun (2021) menjadi Rp 3,1 triliun (2024), peningkatan ±24%, namun sebagian besar bersumber dari pajak kendaraan bermotor dan retribusi umum, bukan pariwisata. Artinya, pembangunan Mandalika meningkatkan pertumbuhan fisik dan citra daerah, tetapi belum menciptakan pemerataan ekonomi yang signifikan.
TPK hotel naik signifikan saat event MotoGP (Maret 2022: 55%) tetapi kembali ke 45-47% pada 2023-2024, dengan rata-rata lama menginap tamu sekitar 1,8 hari. Hal ini menunjukkan wisatawan datang untuk event, bukan menjelajahi daerah. Dengan multiplier jasa sekitar 1,3, dampak ekonomi event terhadap PDRB tahunan hanya ±0,2–0,3%, menandakan pertumbuhan ekonomi bersifat temporer dan belum mengubah struktur ekonomi lokal.
Fenomena nelayan tetap melaut di tengah riuh event internasional menggambarkan resiliensi ekonomi masyarakat pesisir. Sistem ekonomi tradisional masih menjadi tulang punggung masyarakat karena belum tergantikan oleh sistem baru yang lebih inklusif.
Dalam teori ekonomi pembangunan, kondisi ini disebut dualisme ekonomi: dua sistem (modern-kapitalistik dan tradisional- subsisten) hidup berdampingan tanpa interaksi produktif. Mandalika berfungsi sebagai enklave ekonomi yang berkembang cepat, namun terisolasi dari denyut kehidupan masyarakat di sekitarnya.
Pembangunan Mandalika menghadirkan dilema klasik ekonomi pembangunan: pertumbuhan yang tidak sepenuhnya inklusif.
1. Efek pertumbuhan (growth effect): meningkatnya PAD dan aktivitas investasi.
2. Efek pemerataan (equity effect): masih lemah, masyarakat lokal sedikit terserap dalam rantai pasok pariwisata.
3. Efek sosial (social impact): ketahanan masyarakat tinggi, namun kesejahteraan tidak meningkat signifikan.
Jika pembangunan berlanjut tanpa integrasi sosial-ekonomi, NTB menghadapi enclave paradox: kemajuan fisik di satu titik, stagnasi sosial di sekitarnya.
- Audit dan Penyelesaian Sengketa Lahan
Bentuk mekanisme multi-stakeholder review dan lembaga mediasi permanen untuk menyelesaikan konflik lahan (~42 ha belum tuntas), menghindari litigasi berkepanjangan, dan memberikan kompensasi adil bagi masyarakat terdampak. - Integrasi Rantai Nilai Lokal
Wajibkan kuota 30–40% vendor event berasal dari UMKM lokal, serta kembangkan platform e-catalog Mandalika untuk mempertemukan penyedia lokal dengan penyelenggara event. - Dana Kesejahteraan Mandalika (DKM)
Sisihkan minimal 10% pajak hotel/restoran Mandalika untuk desa penyangga melalui skema Dana Kesejahteraan, digunakan untuk pelatihan, permodalan, dan infrastruktur desa. - Pelatihan Vokasi dan Literasi Ekonomi
Luncurkan program hospitality, manajemen event, dan digital marketing untuk pemuda lokal, serta bentuk Community Tourism Academy sebagai pusat pelatihan pariwisata berbasis komunitas. - Penguatan Ekonomi Biru dan Hijau
Jadikan nelayan sebagai mitra strategis dalam wisata bahari dan konservasi pesisir melalui skema Green Mandalika, menciptakan wisata ramah lingkungan dan inklusif. Kenaikan pendapatan rumah tangga lokal: +15, Kontribusi pariwisata terhadap PDRB NTB ≥15%, Persentase vendor lokal di event: ≥40%, Rata-rata lama menginap wisatawan: ≥2,5 hari dan Penyerapan tenaga kerja lokal di sektor hospitality: ≥60%
Hingga gelaran MotoGP Oktober 2025, NTB telah menarik perhatian dunia. Namun, masih ada jarak signifikan antara pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan sosial. Pemerintah Provinsi NTB periode 2025-2029 menghadapi PR besar yakni bagaimana memastikan pembangunan Mandalika tidak hanya megah secara fisik, tetapi juga inklusif, berkelanjutan, dan memberi manfaat nyata bagi masyarakat lokal.












