SUMBAWAPOST.com, Mataram- Proyek pembangunan pengamanan pantai senilai Rp70 miliar di Gili Meno, Kecamatan Pemenang, Lombok Utara (KLU), kini jadi sorotan publik. Proyek yang digarap Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Nusa Tenggara I, Kementerian PUPR, diduga kuat meninggalkan jejak kerusakan parah pada ekosistem terumbu karang di salah satu destinasi wisata bahari terbaik NTB itu.
Masyarakat sipil NTB tak tinggal diam. Melalui kuasa hukumnya, Muhamad Arif, SH, mereka menegaskan akan menempuh langkah hukum dengan menggugat BBWS Nusa Tenggara I ke pengadilan.
“Kami sedang menyiapkan materi gugatan untuk menggugat BBWS Nusa Tenggara I. Insya Allah minggu depan akan kami daftarkan,” tegas Arif, Senin (15/9) di Mataram.
Menurut Arif, proyek yang didanai APBN 2025 itu mencakup pengerukan, pembangunan tanggul, dan penimbunan material di sepanjang pesisir. Aktivitas tersebut dituding merusak terumbu karang yang menjadi habitat biota laut sekaligus penopang utama pariwisata Gili Meno.
Tak hanya itu, warga juga melaporkan krisis air bersih akibat aktivitas proyek.
“Proyek ini jelas tidak memperhatikan AMDAL maupun UKL-UPL. Tindakan serampangan ini ilegal dan merugikan masyarakat, baik secara ekologi maupun sosial,” ujar Arif.
Arif menyebut, ada sejumlah yurisprudensi penting yang akan menjadi landasan gugatan, di antaranya yakni Putusan MA No. 1190K/PDT/2024 (pencemaran Sungai Brantas) menegaskan kewajiban pemerintah memulihkan kerusakan lingkungan. Putusan MA No. 99 PK/TUN/2016 (Reklamasi Teluk Benoa) menekankan partisipasi publik dalam perlindungan lingkungan. Putusan MA No. 31 K/TUN/2012 (hutan bakau Pantura Jawa) membatalkan izin karena potensi kerusakan lingkungan. Putusan PN Manado No. 284/Pdt.G-LH/2012 (kasus PT Meares Soputan Mining) menguatkan hak masyarakat menggugat kerusakan lingkungan. Putusan MK No. 18/PUU-XII/2014 menegaskan hak konstitusional warga atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Selain itu, gugatan juga akan mengacu pada UU No. 27/2007 jo UU No. 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir, UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan UU No. 5/1990 tentang Konservasi SDA Hayati.
Melalui gugatan ini, masyarakat sipil NTB menuntut pemerintah bertanggung jawab penuh atas dugaan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan, sekaligus memulihkan ekosistem laut Gili Meno. Mereka juga mendesak agar setiap proyek pesisir ke depan harus transparan dan berbasis kajian lingkungan yang matang.
“Gili Meno adalah aset pariwisata dan ekologi. Jangan sampai proyek bernilai besar justru menghancurkan sumber penghidupan masyarakat,” pungkas Arif.
Sayangnya, hingga berita ini dipublikasikan, pihak BWS Nusa Tenggara I masih bungkam dan belum memberikan klarifikasi terkait tudingan kerusakan ekosistem Gili Meno.












