SUMBAWAPOST.com, Lombok Barat- Sebanyak 37 delegasi dari 18 negara yang tergabung dalam International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies (IFRC) meninjau langsung alat Early Warning System (EWS) di Musholla Dusun Empol Utara, Desa Cendimanik, Kecamatan Sekotong, Lombok Barat. Alat tersebut merupakan hasil kerja sama antara PMI dan mitra internasional dalam membangun kesiapsiagaan masyarakat menghadapi bencana.
Menariknya, alat EWS ini bahkan sudah diatur dalam sebuah Peraturan Desa, hasil inisiatif para relawan PMI Lombok Barat (Lobar).
Relawan PMI Lobar di Sekotong, Ahyar, menuturkan sebelum adanya alat tersebut, pihaknya kerap kesulitan memberikan informasi dini kepada warga jika terjadi banjir rob atau luapan sungai.
“Alhamdulillah, adanya alat EWS ini kini edukasi ke warga terkait kebencanaan bisa mudah dilakukan,” ujar Ahyar di hadapan para delegasi IFRC, Kamis (16/10).
Meski demikian, Ahyar mengakui masih ada kendala teknis yang dihadapi.
“Kendala itu menyangkut sinyal yang kadang turun naik di wilayahnya. Ini saja kendalanya. Kalau bisa ada BTS yang enggak jauh, maka EWS ini pasti lancar,” katanya.
Perwakilan IFRC, Under Secretary General for Humanitarian Diplomacy and Digitalization, Nena Stoiljkovic, mengapresiasi semangat dan kesiapan masyarakat NTB dalam membangun ketahanan bencana.
“Kami berterima kasih karena bantuan yang kami berikan dapat dimanfaatkan dalam membangkitkan semangat edukasi masyarakat untuk tanggap pada bencana,” ujarnya.
Ketua PMI NTB, dr. Lalu Herman Mahaputra atau akrab disapa Dokter Jack, menjelaskan bahwa kunjungan delegasi IFRC difokuskan untuk melihat implementasi aksi nyata antisipasi bencana berbasis masyarakat.
“Kunjungan ke Sekotong ini karena di situ memang harapannya terkait dengan aksi nyata bencana oleh relawan PMI yang didukung oleh masyarakat melalui pemerintah desa,” katanya.
Menurut Dokter Jack, Sekotong dipilih karena wilayah pesisir ini memiliki risiko tinggi terhadap bencana banjir rob dan tsunami. Saat ini, tiga alat EWS telah terpasang di kawasan tersebut.
Ia menjelaskan, sistem ini bekerja melalui sensor pendeteksi perubahan debit air laut.
“Ketika terjadi peningkatan debit air yang signifikan, alat akan memberikan sinyal kepada BMKG dan dinas terkait untuk segera melakukan peringatan dini kepada masyarakat,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia menambahkan para delegasi juga meninjau program penanaman mangrove di Sekotong, Lembar, dan Cemara yang sudah berjalan sejak 2013 sebagai bentuk mitigasi alami terhadap abrasi dan banjir pesisir.
“Karena 2013 dulu teman-teman dari PMI yang menginisiasi penanaman mangrove, dan sekarang sudah terpasang tiga early warning system di situ. Kalau debit air laut meningkat, sinyal akan otomatis dikirim ke BMKG,” jelasnya lagi.












