Di tengah polemik tambang ilegal yang terus mencuat di Nusa Tenggara Barat (NTB), anggota DPRD NTB H. Muhamad Aminurllah yang akrab disapa Aji Maman tampil memberi pandangan menyejukkan. Ia menegaskan bahwa langkah Polda NTB dalam mendorong pembentukan koperasi tambang rakyat dan penataan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) bukanlah bentuk intervensi, melainkan solusi konkret untuk mewujudkan tata kelola tambang yang legal, berkeadilan, dan berpihak pada rakyat kecil.
SUMBAWAPOST.com, Mataram- Upaya Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) bersama Polda NTB dalam menata kembali sektor pertambangan rakyat menuai apresiasi tinggi dari legislatif.
Anggota DPRD NTB, H. Muhamad Aminurllah, menilai langkah sinergis tersebut sebagai terobosan penting dalam membangun tata kelola pertambangan yang berkeadilan, transparan, dan berlandaskan hukum.
Menurutnya, idenya Polda NTB tetang adanya Koperasi Tambang di NTB patut kita apresiasi. dan Gubernur NTB Lalu Muhammad Iqbal untuk percepatan penerbitan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) menjadi wujud nyata penegakan regulasi sekaligus pemberdayaan ekonomi masyarakat.
“Kita harus apresiasi langkah Polda dan Gubernur NTB. Tinggal bagaimana sekarang pembentukan Perda dan mendorong Gubernur agar segera menerbitkan IPR,” ujar Muhamad Aminurllah di Mataram, Senin (6/10).
Aminurllah menegaskan bahwa pembentukan koperasi tambang bukan sekadar formalitas administratif, melainkan transformasi ekonomi rakyat berbasis regulasi dan kemandirian.
Dengan wadah koperasi, penambang rakyat dapat bekerja secara tertib, terorganisir, dan memiliki perlindungan hukum yang jelas, sekaligus mencegah praktik eksploitasi oleh pihak-pihak tertentu.
“Artinya, setiap kegiatan tambang di NTB harus berada dalam koridor hukum. Negara hadir untuk menata, bukan sekadar menghukum. Maka kehadiran koperasi tambang dan IPR menjadi jembatan antara penegakan hukum dan kesejahteraan masyarakat,” jelasnya.
Langkah ini, lanjutnya, sejalan dengan semangat Pasal 33 UUD 1945 yang menegaskan bahwa bumi dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dengan demikian, penataan tambang rakyat adalah bagian dari implementasi keadilan distributif memastikan kekayaan sumber daya alam tidak hanya dinikmati oleh korporasi besar, tetapi juga memberi ruang bagi ekonomi rakyat.
Aminurllah menilai, kolaborasi antara Gubernur dan Polda NTB mencerminkan penerapan prinsip Good Mining Governance, yaitu pengelolaan tambang yang menekankan keterbukaan, kepatuhan hukum, partisipasi publik, dan keberlanjutan lingkungan.
“Langkah Polda dan Gubernur ini wujud nyata bahwa segala sesuatu di NTB harus dilakukan sesuai regulasi, dan menolak adanya proses tambang ilegal yang merugikan lingkungan maupun masyarakat,” tegasnya.
Ia menilai, pembentukan Peraturan Daerah (Perda) tentang Tata Kelola Tambang Rakyat kini menjadi kebutuhan mendesak. Perda ini nantinya akan menjadi payung hukum bagi pelaksanaan IPR dan penguatan kelembagaan koperasi tambang di tingkat lokal.
“Dengan adanya Perda, kita bisa memastikan arah kebijakan pertambangan lebih jelas diantaranya siapa yang boleh menambang, di mana lokasinya, dan bagaimana dampaknya dikendalikan. Jadi tidak ada lagi ruang abu-abu untuk tambang ilegal,” tambahnya.
Dalam beberapa tahun terakhir, NTB menghadapi tantangan serius akibat maraknya aktivitas Pertambangan Tanpa Izin (PETI), terutama di Lombok Barat, Sumbawa, dan Dompu. Kegiatan ini tidak hanya menimbulkan kerusakan lingkungan, tetapi juga mengakibatkan kerugian negara dan konflik horizontal antar warga.
Menurut Aminurllah, penanganan tambang ilegal tidak cukup dengan operasi penertiban semata. Diperlukan model pemberdayaan berbasis koperasi agar masyarakat penambang menjadi pelaku utama pengelolaan sumber daya alam secara legal, aman, dan berkelanjutan.
“Kalau hanya dilarang, rakyat tidak akan berhenti menambang karena itu sumber penghidupan. Tapi kalau diatur dan diberi wadah koperasi serta izin resmi, mereka bisa bekerja dengan aman sambil tetap menjaga lingkungan,” jelasnya.
Terkait munculnya isu cawe-cawe pihak kepolisian dalam urusan IPR, baginya, bahwa peran Polda NTB bukan bentuk intervensi, melainkan fungsi kontrol hukum untuk memastikan seluruh kegiatan tambang berjalan sesuai regulasi.
Ia menegaskan, berdasarkan UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba dan PP Nomor 96 Tahun 2021, kepolisian memang tidak berwenang menerbitkan atau menolak izin pertambangan.
Namun, aparat penegak hukum memiliki mandat melakukan penindakan terhadap penambangan ilegal, pelanggaran lingkungan, dan tindak pidana lain yang terjadi di sektor tambang.
“Kalau kepolisian turun, bukan untuk mengurus izin tambang, tapi memastikan semua proses berjalan sesuai aturan. Supaya tidak ada lagi tambang ilegal, tidak ada lagi rakyat kecil jadi korban hukum,” tegasnya.
Dengan demikian, langkah Polda NTB yang mendorong pembentukan koperasi tambang dan penertiban tambang ilegal bukan cawe-cawe, melainkan pendampingan strategis agar penambang rakyat mendapat jalan legal melalui IPR.
“Kita harus apresiasi langkah Polda NTB yang proaktif membantu Pemprov dan masyarakat dalam menata pertambangan rakyat. Ini bukan cawe-cawe, tapi kolaborasi untuk menegakkan regulasi dan memberdayakan penambang kecil,” tambahnya.
Aminurllah menegaskan, sinergi antara Polda NTB, Gubernur, dan DPRD merupakan kunci untuk mewujudkan sistem pertambangan rakyat yang tertib hukum dan pro-kesejahteraan rakyat.
Dukungan terhadap peran aktif kepolisian dalam penertiban tambang ilegal adalah bagian dari visi besar NTB untuk membangun ekonomi hijau (green economy) dan keadilan ekologis, di mana pembangunan ekonomi tidak merusak lingkungan.
“Pemberantasan tambang ilegal tidak cukup dengan operasi penertiban. Kita harus membangun sistem. Dan sistem itu dimulai dari regulasi, koperasi, dan pemberdayaan masyarakat,” pungkasnya.
Langkah pembentukan koperasi tambang dan percepatan penerbitan IPR menjadi tonggak penting menuju era baru tata kelola pertambangan NTB dari aktivitas yang liar dan tidak teratur menuju sistem pertambangan yang berkeadilan, legal, dan berkelanjutan
Tidak hanya itu, Pria yang akrab disapa Aji Maman, menegaskan tinggal bagiamana Sekerang pentingnya percepatan penyelesaian dua rancangan peraturan daerah (Perda) strategis sebelum pembahasan Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) 2026.
Menurutnya, dua Perda yang dimaksud yakni Perda tentang Izin Pertambangan Rakyat (IPR) dan Perda Pajak Daerah serta Retribusi Daerah harus segera dirampungkan agar dapat menjadi dasar hukum dalam pembahasan APBD 2026.
“Tinggal sekarang bagaimana Pemprov NTB segera menyampaikan, dan tugas kita bagaimana segera menuntaskan pembahasan dua Perda penting ini. Karena keduanya menjadi dasar kita di DPRD dalam membahas KUA-PPAS 2026 dan APBD mendatang,” ujar Aji Maman.
Politisi senior ini menilai, percepatan pembahasan Perda IPR sangat krusial untuk menata sektor pertambangan rakyat secara legal, transparan, dan berkeadilan. Sementara Perda Pajak dan Retribusi menjadi pilar utama dalam meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) yang berimplikasi langsung terhadap kemampuan fiskal daerah.
“Kalau dua Perda ini tuntas, maka pembahasan APBD akan lebih kuat secara hukum dan terarah secara kebijakan. Karena kita tidak bisa bicara program besar tanpa landasan regulasi yang jelas,” tegasnya.
Aji Maman menambahkan, DPRD NTB bersama Pemerintah Provinsi memiliki tanggung jawab bersama untuk memastikan seluruh proses legislasi berjalan tepat waktu, agar pembangunan dan pelayanan publik tidak tersendat akibat keterlambatan dokumen dasar anggaran.
“Perda bukan sekadar formalitas hukum, tapi fondasi untuk tata kelola pemerintahan yang akuntabel. Jadi DPRD dan Pemprov harus bekerja cepat, sinkron, dan fokus,” ujarnya.
Ia juga berharap, penyusunan Perda dilakukan nantinya dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan agar hasilnya tidak hanya memenuhi aspek legal, tetapi juga menjawab kebutuhan riil masyarakat.
“Dua Perda ini menyangkut hajat hidup orang banyak. Satu untuk legalisasi ekonomi rakyat di sektor tambang, dan satu lagi untuk kemandirian fiskal daerah. Ini harus jadi prioritas utama DPRD dan Pemprov NTB,” pungkasnya.
Sinergi lintas institusi antara aparat, pemerintah, Wakil Rakyat dan rakyat bukan hanya memperkuat penegakan hukum, tetapi juga menjadi cerminan paradigma baru pembangunan NTB yakni membangun tanpa merusak, menambang tanpa melanggar.












