SUMBAWAPOST.com, Mataram-Aula Fakultas Pertanian Universitas Mataram mendadak riuh pada Senin (8/9/2025). Ratusan pelajar SMA/SMK/MA se-Pulau Lombok dan perwakilan BEM fakultas di Unram tumpah ruah mengikuti seminar bertajuk ‘Generasi Z dan Jurnalistik Partisipatif: Antara Fakta, Opini, dan Hoaks’ yang digelar Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Sativa.
Sekretaris Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) NTB, Fahrul Mustofa, hadir sebagai pembicara tunggal. Kehadirannya disambut antusias para peserta, yang sebagian besar merupakan Generasi Z kelompok yang dinilai paling rawan menjadi korban berita palsu.
Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Alumni Faperta Unram, Mahardika Rizqi Himawan, menegaskan dukungan penuh terhadap kegiatan ini.
“Kami mendukung LPM selaku lembaga pers kampus turut berperan untuk mengedukasi mahasiswa NTB. Ini agar di Unram, ke depan tidak ada lagi yang terpapar berita hoaks,” ujarnya.
Dalam paparannya, Fahrul mengungkapkan fakta mencengangkan. Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), jumlah konten hoaks meningkat hingga 10 kali lipat menjelang Pemilu 2024.
Namun, di sisi lain, literasi digital masyarakat Indonesia masih rendah. “Sejauh ini tingkat literasi digital kita hanya 62 persen, kalah dari rata-rata ASEAN yang sudah 70 persen,” jelas Fahrul, yang juga Ketua Forum Wartawan Parlemen NTB.
Mengutip riset kolaboratif Deakin University Australia dan UGM, Fahrul menyebutkan bahwa sebagian besar Generasi Z di Indonesia (83%) tidak mampu membedakan fakta dan hoaks.
“Banyak di antara mereka hanya membaca judul, tanpa memverifikasi isi berita. Akibatnya, mudah terjebak propaganda,” katanya.
Riset lain dari Stanford University bahkan menemukan bahwa Gen Z sulit membedakan iklan dengan berita, serta fakta dengan opini.
“Harapannya, sumber informasi otoritatif dapat menyampaikan yang fakta,” tegasnya.
Menurut Fahrul, literasi digital bukan sekadar kemampuan memakai gawai, melainkan mencakup empat aspek penting: kemampuan digital, etika digital, keamanan digital, dan budaya digital.
Ia menambahkan, tiga dari sepuluh orang kini merasa hidupnya frustrasi hingga rentan depresi karena terlalu lama berselancar di dunia maya.
“Era digital membuat siapa saja bisa jadi corong informasi. Karena itu, Generasi Z harus skeptis, apa pun informasi yang diterima harus dipertanyakan dan dibandingkan dengan sumber lain,” tegasnya.
Menutup materinya, Fahrul berpesan agar Generasi Z tidak hanya pasif menerima informasi, tetapi berani melawan hoaks dengan senjata literasi.
“Mahasiswa dan Gen Z harus mulai berani melawan hoaks. Tentunya dengan terlebih dahulu memeriksa kebenaran informasi melalui berbagai platform cek fakta,” tandasnya.












